Skip to main content

"Lagu persembahan kok nadanya minor?"

Salah satu tanggung jawab saya sebagai rohaniwan bidang ibadah adalah menyusun liturgi dan memilih lagu. Beruntungnya, saya tidak sendirian. Tugas yang mahaberat dan tak mengenal kata selesai ini saya emban bersama dengan 4 orang rekan rohaniwan lain (3 di antaranya adalah lulusan musik gerejawi). Kami terus-menerus menantang diri untuk membaca bahan-bahan yang baik,  mendiskusikan tradisi dan inovasi yang berkembang di dunia liturgi dan ibadah, termasuk mengumpulkan, menerjemahkan, menggubah, bahkan menciptakan lagu-lagu yang baik sebagai bentuk penggembalaan kepada jemaat melalui ibadah komunal.

Kali ini, saya kebagian giliran untuk menyusun liturgi khusus untuk masa Pra-Paskah. Lebih dari sekadar menjadi masa persiapan memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah, kami rindu agar masa yang dikenal dengan istilah Lent ini juga dihayati sebagai masa pertobatan. Tujuannya agar selepas masa ini, jemaat menyadari bahwa bertobat dan kembali kepada Tuhan merupakan sebuah disiplin rohani yang penting dalam proses pengudusan kita sebagai murid Kristus. Tujuan ini tentu harus didukung dengan tata ibadah yang menekankan: (1) panggilan pertobatan dari Tuhan, serta (2) respons untuk kembali mempersembahkan hidup kepada Tuhan dari umat Tuhan.

Salah satu cara sederhana yang saya pakai untuk mencapai kerinduan tersebut adalah dengan memilih lagu yang cocok sewaktu persembahan dijalankan. Persembahan dalam ibadah Minggu tidak hanya sekadar soal membawa buah dari jerih payah kita, tetapi juga soal re-dedikasi hidup kepada Tuhan Sang pemberi kehidupan. Bagi saya, memberi persembahan setelah mendengar khotbah adalah sebuah aksi simbolis kita berkata 'Ya!' kepada perintah Tuhan melalui firman-Nya. Untuk masa Lent, dibutuhkan lagu persembahan yang menolong jemaat untuk secara sekaligus membawa persembahan dan pertobatan mereka kepada Tuhan.

Pilihan saya jatuh pada lagu 'Take My Life and Let it Be' atau 'Pakai Hidupku Ini,' karangan F. Havergal. Bagi saya, lagu ini tidak asing di telinga jemaat, dan liriknya sarat makna. Lagipula, liriknya tersedia dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Mandarin. Cocok buat gereja kami yang menyelenggarakan ibadah dalam 3 bahasa tersebut. Namun agar jemaat lebih menghayati panggilan pertobatan selagi menyanyikan lagu ini, saya kemudian memberikan tune baru, yaitu nada minor. 'Lagu persembahan kok nadanya minor?' Itulah komentar pertama dari istri ketika saya tanyakan pendapatnya. Dan saya cukup yakin, itu pula yang akan menjadi pertanyaan jemaat ketika pertama kali menyanyikan lagu dengan tune baru ini di hari Minggu (25/2). Ya, mengapa minor?

Di dalam perenungan pribadi, saya kemudian menemukan sebuah paradoks di dalam memberi persembahan kepada Tuhan: rasa sukacita sekaligus dukacita. Ketika Tuhan memanggil saya untuk membawa persembahan, tentu saya sangat senang dan bersyukur. Tuhan tidak butuh uang saya atau hidup saya, tapi Ia memberi kesempatan untuk saya mempersembahkan sesuatu. Pastilah saya senang dan bangga. Namun di saat yang sama, saya berdukacita karena sadar bahwa persembahan saya penuh dengan cacat cela. Apalagi, saya sadar Tuhan pun tahu bahwa persembahan yang saya bawa tidak sempurna. Maka dibalik rasa sukacita membawa persembahan, saya pun dengan rasa dukacita membawa pertobatan saya ke mezbah anugerah Tuhan. Paradoks itulah yang ingin ditonjolkan lewat lagu 'Pakai Hidupku Ini' dengan nada minor, khususnya selama season of repentance.

Maka, "Lagu persembahan dengan nada minor?" Ya, dengan doa dan harapan agar Tuhan berkenan berbicara kepada umat-Nya selama masa Pra-Paskah ini, serta agar umat-Nya mendengar dan meresponi suara Tuhan untuk membawa persembahan dan pertobatan hidup.

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, s...

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi la...

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah...