Kali ini, saya kebagian giliran untuk menyusun liturgi khusus untuk masa Pra-Paskah. Lebih dari sekadar menjadi masa persiapan memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah, kami rindu agar masa yang dikenal dengan istilah Lent ini juga dihayati sebagai masa pertobatan. Tujuannya agar selepas masa ini, jemaat menyadari bahwa bertobat dan kembali kepada Tuhan merupakan sebuah disiplin rohani yang penting dalam proses pengudusan kita sebagai murid Kristus. Tujuan ini tentu harus didukung dengan tata ibadah yang menekankan: (1) panggilan pertobatan dari Tuhan, serta (2) respons untuk kembali mempersembahkan hidup kepada Tuhan dari umat Tuhan.
Salah satu cara sederhana yang saya pakai untuk mencapai kerinduan tersebut adalah dengan memilih lagu yang cocok sewaktu persembahan dijalankan. Persembahan dalam ibadah Minggu tidak hanya sekadar soal membawa buah dari jerih payah kita, tetapi juga soal re-dedikasi hidup kepada Tuhan Sang pemberi kehidupan. Bagi saya, memberi persembahan setelah mendengar khotbah adalah sebuah aksi simbolis kita berkata 'Ya!' kepada perintah Tuhan melalui firman-Nya. Untuk masa Lent, dibutuhkan lagu persembahan yang menolong jemaat untuk secara sekaligus membawa persembahan dan pertobatan mereka kepada Tuhan.
Pilihan saya jatuh pada lagu 'Take My Life and Let it Be' atau 'Pakai Hidupku Ini,' karangan F. Havergal. Bagi saya, lagu ini tidak asing di telinga jemaat, dan liriknya sarat makna. Lagipula, liriknya tersedia dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Mandarin. Cocok buat gereja kami yang menyelenggarakan ibadah dalam 3 bahasa tersebut. Namun agar jemaat lebih menghayati panggilan pertobatan selagi menyanyikan lagu ini, saya kemudian memberikan tune baru, yaitu nada minor. 'Lagu persembahan kok nadanya minor?' Itulah komentar pertama dari istri ketika saya tanyakan pendapatnya. Dan saya cukup yakin, itu pula yang akan menjadi pertanyaan jemaat ketika pertama kali menyanyikan lagu dengan tune baru ini di hari Minggu (25/2). Ya, mengapa minor?
Di dalam perenungan pribadi, saya kemudian menemukan sebuah paradoks di dalam memberi persembahan kepada Tuhan: rasa sukacita sekaligus dukacita. Ketika Tuhan memanggil saya untuk membawa persembahan, tentu saya sangat senang dan bersyukur. Tuhan tidak butuh uang saya atau hidup saya, tapi Ia memberi kesempatan untuk saya mempersembahkan sesuatu. Pastilah saya senang dan bangga. Namun di saat yang sama, saya berdukacita karena sadar bahwa persembahan saya penuh dengan cacat cela. Apalagi, saya sadar Tuhan pun tahu bahwa persembahan yang saya bawa tidak sempurna. Maka dibalik rasa sukacita membawa persembahan, saya pun dengan rasa dukacita membawa pertobatan saya ke mezbah anugerah Tuhan. Paradoks itulah yang ingin ditonjolkan lewat lagu 'Pakai Hidupku Ini' dengan nada minor, khususnya selama season of repentance.
Maka, "Lagu persembahan dengan nada minor?" Ya, dengan doa dan harapan agar Tuhan berkenan berbicara kepada umat-Nya selama masa Pra-Paskah ini, serta agar umat-Nya mendengar dan meresponi suara Tuhan untuk membawa persembahan dan pertobatan hidup.
Maka, "Lagu persembahan dengan nada minor?" Ya, dengan doa dan harapan agar Tuhan berkenan berbicara kepada umat-Nya selama masa Pra-Paskah ini, serta agar umat-Nya mendengar dan meresponi suara Tuhan untuk membawa persembahan dan pertobatan hidup.
Comments
Post a Comment