Siang tadi, usai sudah masa-masa pertapaan saya di almamater tercinta. Tidak banyak yang saya lakukan setengah hari ini. Pagi tadi saya menghabiskan introduksi sebuah buku tentang worship. Jadi total ada empat buku yang saya habiskan bagian introduksinya—sekitar total 100an halaman—dalam 2 malam. Satu buku tentang Jonathan Edwards, 3 tentang ibadah. Tujuannya memang mencari-cari buku yang baik untuk menambah perbendaharaan perpustakaan pribadi, serta mempersiapkan bahan untuk riset di kemudian hari. Keputusannya, dalam waktu dekat dua dari empat buku tersebut akan saya beli. Sisanya akan dibeli ketika APBN dalam kondisi baik :)
Setelah kebaktian pagi selesai, saya langsung menuju gedung rektorat, tempat di mana para dosen berkantor. Kebetulan saya ada janji untuk berbincang-bincang dengan salah seorang dosen saya. Tidak ada yang serius. Kami ngobrol ringan, saling meng-update, dan salah satunya adalah membicarakan rencana saya untuk studi lanjut tahun depan. Beliau banyak memberikan nasihat praktis mengenai bagaimana bisa berhasil dalam studi, bahkan hal-hal seputar beasiswa, visa, dan yang lain-lain. Entah bagaimana, kami lalu mempercakapkan mengenai pelayanan. Salah satu yang saya tangkap dari petuah beliau adalah: “Salah satu hal yang penting sebagai hamba Tuhan adalah “mulut" kita, maksudnya apakah kata-kata kita bisa dipercaya/dipegang atau tidak. Maka penting untuk dijaga.” Saya dalam hati mengaminkan apa yang dia katakan.
Setelah kira-kira 30 menit berbincang, saya kembali ke kamar untuk mengemasi barang-barang. Masih ada sekitar 35 menit sebelum jam makan siang para dosen. Maka saya pakai waktu yang ada untuk berkeliling ke sekitar auditorium, khususnya museum Alkitab, dan ruang recital program musik; ruang-ruang ini belum pernah saya eksplorasi sebelumnya. Di 5 menit terakhir, saya sengaja kembali ke ruang rektorat karena ingin sekali lagi mengambil sebuah foto. Apa yang mau saya foto adalah patung Tuhan Yesus mencuci kaki murid-Nya. Patung dan tulisan yang tertera di situ seolah menjadi pesan penutup dari retreat pribadi saya. Saya menarik diri karena saya perlu istirahat, saya perlu kembali pada Tuhan dan mengevaluasi motivasi-motivasi pelayanan saya, dan saya perlu “dilayani” oleh Tuhan. Setelah ini, saya akan kembali melayani jemaat yang Tuhan percayakan. Saya merindukan agar perkataan Tuhan Yesus terus mengarahkan pelayanan saya di depan. Ngomong-ngomong, hati saya gentar waktu menulis kalimat sebelumnya. Ga gampang . . . butuh belas kasihan Tuhan!
Itulah sekelumit pengalaman yang saya nikmati selama 3 hari 2 malam terakhir. Saya semakin yakin bahwa hamba Tuhan perlu menyediakan waktu-waktu time-out seperti ini. Kita bukan Superman. Tapi kalaupun kita selalu kuat dan segar-bugar, poin utamanya adalah kembali fokus pada Tuhan, Raja yang kita layani. Semoga pengalaman singkat ini mendorong rekan-rekan saya para hamba Tuhan untuk merencanakan retreat pribadi sejenis ini, dan juga mendorong jemaat untuk memberi kesempatan kepada hamba Tuhannya untuk memiliki waktu-waktu khusus bersama Tuhan. Oya, sama seperti retreat pada umumnya, retreat pribadi saya pun diakhiri dengan makan siang bersama dengan para dosen.
Comments
Post a Comment