Skip to main content

Mengapa Mendalami Ibadah?

Itu adalah pertanyaan yang beberapa kali dikemukan kepada saya, ketika saya mengisahkan rencana saya untuk studi lanjut, dan bidang apa yang akan saya tekuni. Cukup banyak yang mengapresiasi bahkan mendukung pilihan saya. Tetapi ada juga yang merasa heran: "Apa perlu sampai sekolah lagi, jauh-jauh ke Amerika, dengan biaya yang besar, hanya untuk belajar tentang ibadah?" Ada pula yang bertanya-tanya: "Untuk apa lulusan teologi, seorang rohaniwan purnawaktu di gereja yang kebanyakan tugasnya seputar mengajar dan berkhotbah, lalu mengambil gelar di bidang ibadah? Mestinya serahkan saja bidang itu kepada mereka yang lulusan musik gereja." Juga ada yang berkomentar: "Oh Th.M (Master of Theology) bidang ibadah? Memangnya ada ya? Bukannya ibadah itu urusan praktis dan bukan akademik ya? Berarti mendalami yang praktis-praktis saja dong?" Dan tentu saja ada yang berpikir: "Bakal mendalami musik ya?" (sebab mereka tahu saya suka dan bisa bermain musik).

Setelah satu semester berlalu di Calvin Seminary, saya merasa terdorong untuk menuliskan jawaban saya atas pertanyaan di atas. Bukan untuk apa-apa, tetapi yang terutama adalah untuk: (1) menorehkan beban apa yang Tuhan telah taruh dalam hati saya dalam bentuk tulisan; (2) merenungkan sekali lagi mengapa saya ada di sini dan apa yang saya rindukan sepulang dari sini, serta; (3) merekam hal-hal yang saya syukuri seputar beban ini. Lewat tulisan ini, saya berharap, jika suatu saat saya mulai kehilangan arah, atau ketika saya ingin menyerah karena sulitnya membuat paper, atau bahkan ketika studi saya hanya menjadi aktivitas intelektual belaka, saya bisa kembali membaca tulisan ini, dan berharap Tuhan dengan anugerah-Nya menarik saya kembali kepada rencana-Nya yang agung. Untuk tujuan ini, maka tulisan ini mungkin akan relatif panjang. Bagi yang sulit berkonsentrasi untuk jangka waktu yang lama, maafkan, kali ini saya terlalu panjang. Bagi yang suka membaca kisah seseorang, apalagi ingin berbagian dalam pengalaman hidup saya, membaca tulisan ini mungkin adalah salah satu wujud konkritnya. Dan jangan lupa, tolong ingatkan saya jika saya mulai lupa!

Mengapa saya mendalami ibadah tidaklah bisa dilepaskan dari tiga komunitas orang kudus yang paling mempengaruhi hidup saya. GKY Balikpapan, tempat saya bertumbuh dan berkenalan dengan pelayanan musik. Tempat ini seolah menjadi "pintu masuk" pertama yang Tuhan bukakan. GKY Mangga Besar, tempat saya memulai pelayanan purnawaktu dan terlibat lebih dalam di bidang ibadah. Tempat ini ibarat "kamp pelatihan" di mana saya menyadari betapa sentralnya ibadah dalam kehidupan bergereja. GKY Singapore, tempat saya memulai pelayanan sebagai gembala dan belajar menggembalakan jemaat melalui ibadah. Tempat terakhir ini bagaikan "laboratorium" di mana Tuhan dan jemaat makin meneguhkan keyakinan saya sebelumnya, bahwa gereja tidak bisa menjadi "gereja" tanpa ada ibadah. Gereja bisa tetap menjadi "gereja" tanpa ada banyak komisi-komisi. Gereja juga tetap "gereja" tanpa tersedianya berbagai fasilitas seperti kantor, ruang latihan, dll, bahkan tanpa gedung gereja pun tetap "gereja." Termasuk bagi saya, gereja tidak akan berhenti menjadi "gereja," bahkan jika tidak ada seorang lulusan teologi yang menjadi gembalanya. Tetapi tanpa ibadah, tidak mungkin gereja disebut "gereja." Gereja adalah "komunitas yang beribadah kepada Tuhan," tulis Simon Chan.

(1)
Tak tergantikannya ibadah komunal di dalam kehidupan bergereja membuat saya diyakinkan, bahwa jika Tuhan berkenan, saya rindu untuk menjadi rohaniwan yang khusus menggumuli ibadah komunal. Saya mengenal Tuhan karena orangtua saya membawa saya ikut ibadah Minggu. Saya memulai pelayanan saya sebagai anggota tubuh Kristus juga di dalam konteks ibadah Minggu. Bahkan tanggung jawab utama yang diberikan sejak hari pertama saya menjadi rohaniwan pun mengambil tempat di ibadah Minggu; 4,5 tahun sebagai Youth Pastor dan 2,5 tahun sebagai gembala jemaat, dua-duanya berpusat di ibadah Minggu. 

Maka dengan rasa gentar di hadapan Tuhan yang empunya pelayanan, saya memberanikan diri untuk coba-coba mendalami topik seputar ibadah. Ada yang terjadi lewat diskusi-diskusi konkrit dalam pelayanan, ada pula yang saya dapatkan lewat kesempatan membawakan pelatihan seputar ibadah dan pelayanan musik. Tetapi yang paling banyak adalah melalui buku-buku tentang ibadah.

Salah satu titik kulminasi dari "coba-coba" tersebut adalah ketika saya tidak diterima di program Master of Theology di Trinity Theological College, Singapore. Lah kok bisa? Dengan rasa enggan dan kecewa, bahkan setengah putus asa, saya mengikuti saran seorang teman untuk pindah ke program Master of Ministry, sebuah program berdurasi 1 tahun yang khusus diperuntukkan bagi rohaniwan yang sudah atau sedang melayani di gereja. Di program inilah saya "terpaksa" mengambil kelas Dr. Frank Senn, seorang ahli liturgi dari tradisi Lutheran di Amerika. Kelas ini membawa saya berkenalan dengan studi-studi liturgi, dan sekaligus berkenalan dengan liturgical scholar kelas dunia, yang pengaruh dan karyanya sudah terlihat nyata di dalam dunia studi ibadah. Di program ini juga, saya belajar langsung dari Dr. Simon Chan, teolog Asia yang berpengaruh dan penulis buku Liturgical Theology. Dr. Chan tetap mengajar kelas ini meski hanya saya satu-satunya mahasiswanya. Selain memperjelas buku Chan yang sudah saya baca sebelumnya, kelas ini mengusik banyak hal dalam teologi ibadah saya, tetapi juga menginspirasi banyak hal yang bisa saya terapkan di ibadah Minggu. Ya, anda betul! Jalan Tuhan bukan jalan saya. Ini semua gara-gara saya tidak diterima.

(2)
Saya masih merasa bahwa apa yang saya dapatkan dari dua ahli di atas tidaklah cukup. Lagipula, 1 tahun di M.Min dan hanya 2 mata kuliah tentang ibadah, masih terlalu sedikit buat saya. Belum lagi ditambah dengan tanggung jawab melayani jemaat, yang tentu membuat fokus saya terbagi. Maka saya berpikir bahwa saya harus studi lagi, dan kali ini spesifik mengambil gelar di bidang ibadah. Lalu setelah itu, saya akan kembali untuk melayani di Indonesia. Singkat cerita, gereja mendukung penuh, sebab mereka ingin berbagian dengan beban yang Tuhan titipkan kepada saya, dan mereka pun melihat pentingnya ibadah. Maka tanggal 2 Agustus 2015, saya diutus secara resmi untuk melanjutkan studi.

Saya memilih Calvin Theological Seminary (CTS) karena 3 alasan: sekolah ini memiliki reputasi yang baik, berpengalaman dalam studi seputar ibadah dengan adanya Calvin Institute of Christian Worship, dan menyediakan program Th.M in Worship, sebab saya ingin mendekati studi ibadah both as a theologian and pastor. Sekolah ini menarik karena dinaungi oleh salah satu denominasi tertua di dalam tradisi Reformed, yang terbuka terhadap inovasi tanpa melupakan tradisi. Menariknya, yang saya ingin pelajari dan ingin saya kembangkan di Indonesia nantinya, hampir seluruhnya ada di dalam kurikulum program ini. Bahkan berdasarkan diskusi pribadi dengan Dr. John Witvliet, kepala program bidang ibadah, natur dan fokus dari program ini senada dengan kerinduan saya, dan sejalan dengan tujuan gereja mengutus saya: "Segala hal yang akan dipelajari, semuanya akan bermuara pada bagaimana kita menolong jemaat untuk beribadah kepada Tuhan."    

Yang tidak kalah unik adalah Church of the Servant (COS), tempat saya beribadah dan melayani. Saya ke gereja ini karena 2 alasan: karena dengar-dengar ibadah gereja ini unik dan karena saya kenal dengan worship minister-nya (cara Tuhan mempertemukan kami juga amat unik: ketemu di Indonesia!). Rupanya Tuhan menyediakan "seminari" lain yang menjadi tempat pembelajaran juga bagi saya. Bahkan sebagai bonusnya, Tuhan menyediakan "keluarga baru" bagi kami di sini, yang bukan hanya menerima kami dengan penuh kasih, tetapi bahkan sampai meminjamkan kursi lipat supaya kami tidak perlu melantai ketika makan di rumah.

CTS dan COS menjadi kombinasi yang sangat sempurna untuk memperlengkapi saya. Contohnya: Saya rindu mendalami bagaimana ibadah membentuk jemaat untuk semakin memahami jati dirinya sebagai anak Tuhan, dan bagaimana menggembalakan jemaat lewat ibadah. CTS menyediakan mata kuliahnya (tanpa saya minta), COS membawa saya melihat dan mengalami langsung. Saya juga rindu mendalami teologi Perjamuan Kudus, sesuatu yang jarang digumulkan secara teologis selain hanya perdebatan soal the real presence of Christ dalam roti dan anggur. Lagi-lagi CTS menyediakan teorinya, COS menjadi tempat saya merayakan dan menikmatinya setiap Minggu (ya! bukan sebulan sekali).

Maka lengkaplah sudah. Tuhan menyediakan apa yang Dia anggap perlu untuk saya, untuk saat ini dan juga untuk sepulang dari sini.

Ngomong-ngomong, dosen saya Pdt. Buby Ticoalu pernah mengatakan: "Sabar itu artinya 'tahan sedikit lagi.'" Sedikit lagi cerita saya akan selesai :)

(3)
Hampir setiap hari saya mencoba membaca buku-buku tentang ibadah. Selain karena tuntutan studi di mana saya harus membuat paper sepanjang 7500 kata seputar ibadah, juga karena saya berusaha untuk memperluas wawasan di dalam area ini. Hampir tiap Minggu pula, saya dan istri berdiskusi tentang apa yang kami alami dan pelajari di dalam ibadah di gereja. 

Kesimpulannya, ada 3 hal yang saya sukai dan syukuri dari mendalami ibadah.

Pertama, studi ibadah membawa saya menelusuri kisah hidup saya sebagai anak Tuhan. Saya seolah diajak untuk menapaki perjalanan, pengalaman, dan pergumulan anak-anak Tuhan sejak ribuan tahun lalu. Ini seperti menggali silsilah keluarga. Saya belajar dari hikmat mereka di dalam merumuskan ritual-ritual tertentu, yang bagi konteks mereka hari itu, menolong mereka untuk semakin menyadari identitas mereka sebagai umat Tuhan. Saya dibuat kagum dengan keseriusan mereka untuk beribadah kepada Tuhan meski dikelilingi oleh problema yang tidak sederhana. Tentu saja saya juga belajar dari kelemahan dan kekeliruan mereka. 

Dan yang terpenting, saya dibawa untuk melihat bagaimana Allah Tritunggal berkarya di dalam dunia ini di sepanjang sejarah, di mana saya pun menjadi bagian di dalamnya.     

Kedua, mempelajari ibadah membuat saya senantiasa memikirkan ulang apa yang sudah saya lakukan di Minggu lalu, bahkan Minggu-minggu sebelumnya. Contohnya, saya belajar bahwa di masa lampau jemaat membawa persembahan mereka di dalam konteks Perjamuan Kudus. Mereka membawa roti dan anggur sebagai persembahan, untuk mengingatkan bahwa mereka membawa apa yang mereka sudah terima sebelumnya dari Tuhan. Dan apa yang mereka bawa merupakan "the gifts of God for the people of God." Roti dan anggur yang adalah simbol dari kebutuhan hidup manusia, dibawa kepada Tuhan sebagai tanda syukur untuk kecukupan yang Tuhan berikan, serta sebagai tanda mempersembahkan kembali hidup ini kepada Tuhan. Hal ini membawa saya merefleksikan sekali lagi apa yang saya pahami dan apa yang menjadi sikap hati saya ketika khususnya Minggu lalu memberi persembahan.


Dan yang lebih penting, menolong saya untuk makin dibentuk menjadi orang Kristen. 

Ketiga, mendalami ibadah menolong saya untuk merencanakan dengan lebih baik apa yang saya akan lakukan lagi di ibadah Minggu depan. Setelah pencerahan dan hikmat yang baru saya dapatkan, maka makin terbuka-lebarlah kesempatan bagi saya untuk makin memaknai dan menikmati ibadah selanjutnya. Apa yang tadinya saya lakukan hanya sambil lalu, bisa saya maknai dan nikmati, karena saya mengerti kekuatan formatif di balik tindakan tersebut. Dampaknya tentu bukan hanya dirasakan oleh saya, tetapi juga saya bagikan kepada istri dan anak saya. Maka Senin-Sabtu ibarat mempelajari dengan saksama partitur musik, dan Minggu adalah waktu untuk memainkan musiknya dengan lebih meaningful.

Dan yang melebihi semuanya, ini adalah persiapan untuk aktivitas yang akan saya lakukan di dalam kekekalan, yaitu di surga nanti.

Hal-hal inilah yang membuat saya mensyukuri beban yang Tuhan titipkan ini, dan menikmati apa yang saya sedang pelajari di sini. Lagipula, siapa yang tidak merasa terhormat jika dipercayakan untuk melayani jemaat Tuhan supaya makin siap untuk hidup sebagai umat Tuhan, baik di dunia dan di kekekalan?
  

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, s...

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi la...

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah...