Malam ini merupakan moment yang spesial bagi kami. Bersama dengan gereja-gereja di seantero bumi, kami datang ke gereja dan memperingati Rabu Abu (Ash Wednesday). Peringatan ini menjadi tanda dimulainya masa 40 hari menjelang Paskah (minus hari Minggu), yang disebut masa Lent. Sekadar informasi, Lent sudah menjadi bagian dari kehidupan gereja sejak kira-kira abad ke-2 atau 3, meski durasi 40 hari merupakan perkembangan di beberapa abad kemudian.
Mengapa spesial bagi kami? Pertama, ini adalah moment pertama kalinya kami khusus ke gereja memperingati Rabu Abu. Gereja tempat kami beribadah menyelenggarakan ibadah khusus, dan ini adalah Christian Reformed Church in North America, salah satu denominasi Reformed yang tertua.
Kedua, ini pun adalah pertama kalinya kami menerima tanda abu di dahi, sebagai simbol yang mengingatkan bahwa "manusia berasal dari debu dan suatu saat akan kembali menjadi debu." Bagi kami, tentu pengalaman ini sangat berkesan kuat; sama kuatnya seperti berada di pinggir liang kubur dan mendengar pendeta mengambil debu, mengucapkan kalimat yang sama, dan melemparkannya. Tentu saja tidak semua gereja melihat peringatan ini secara positif, dan itu sah-sah saja asalkan disertai dengan alasan yang masuk akal. Tetapi kami pribadi bersyukur untuk peringatan ini.
Ketiga, bukan hanya saya dan istri, tetapi anak kami juga menerima tanda abu di dahinya. Tentu sama seperti anak pada umumnya, dia bertanya: "Ini apa?" Saya dan istri sangat senang. Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengajarkan sebuah kebenaran penting bahwa manusia diciptakan dari debu tanah, dan suatu saat akan kembali menjadi debu. Dengan kata lain, malam ini saya telah menyampaikan doktrin manusia di dalam waktu 2 menit, dan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh anak usia 4 tahun. Kami rindu agar sejak kecil, anak kami sudah mengerti bahwa dia diciptakan oleh Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada Tuhan. Dan tentu kami berharap bahwa seiring usianya bertambah, entah hidupnya lancar atau tidak, dia selalu ingat bahwa dia adalah debu tanah dan dunia ini bukan rumahnya.
Di sinilah saya semakin diyakinkan betapa pentingnya mengajak anak-anak beribadah bersama dan berpartisipasi aktif. Sungguh, saya semakin tidak percaya dengan "legenda" bahwa konon anak-anak tidak bisa beribadah bersama orang dewasa, bahwa mereka tidak mengerti apa yang dilakukan di dalam ibadah, dan bahwa mereka hanya akan mengganggu ibadah. Kami telah membuktikan selama bertahun-tahun bahwa anak-anak bisa dan perlu beribadah bersama dengan orang dewasa. Mereka perlu dilibatkan dengan berbagai ritual di dalam ibadah. Dan itu terjadi lagi malam ini. Ritual menerima tanda abu di dahi yang dialami Lilian, menjadi pintu masuk bagi kami untuk mengajarkan sebuah kebenaran yang amat dalam. Maka sesungguhnya, ritual-ritual di dalam ibadah, di dalam anugerah Tuhan dan disertai dengan ketulusan hati kita, bisa menjadi sarana yang membangun iman kita. Dan sekali lagi, bukan hanya orang dewasa tetapi termasuk juga anak-anak.
Di sini sudah malam. Kapan-kapan saya lanjutkan lagi dengan berbagai pengalaman nyata bagaimana ritual di dalam ibadah menolong kami dan juga anak kami.
Ngomong-ngomong, sewaktu istri saya ingin membersihkan abu di dahi Lilian, dia menolak. Dia berkata: "Aku ga mau dibersihkan. Aku suka ini!" Tentu saja istri saya tetap membersihkan dahinya sebab jika tidak besok pagi bantalnya akan penuh dengan noda hitam :)
Hmmm...pengalaman yang menarik!
Comments
Post a Comment