Bagaimana kita mencoba mengetahui Tuhan di tengah fakta
bahwa sejatinya Dia tidak mampu kita ketahui?
Kira-kira itulah bagian yang sangat menggelitik saya ketika membaca tulisan Andrew Louth, Introducing Eastern Theology. Ya, memang akhir-akhir ini saya tertarik dengan tradisi Kekristenan Timur, dan membeli buku ini adalah salah satu upaya berkenalan lebih dalam. Mungkin sama seperti saya, anda pun akan terkesima dengan banyaknya hal-hal berharga yang bisa dipelajari dari mereka, sebagaimana juga yang kita bisa pelajari dari saudara-saudara di tradisi Katolik, atau tradisi lainnya.
Louth mendekati pertanyaan di atas dari sudut yang berbeda, yaitu dari sudut pandang tradisi Ortodoks Timur. Menurutnya, pada umumnya kita mulai dari doktrin, misalnya doktrin Allah. Tetapi sekali lagi, bagaimana kita bisa mencoba mengetahui Allah sementara faktanya Dia tidak mampu kita ketahui? Dia mengusulkan, kita seharusnya mulai dari sebuah kesadaran (awareness) bahwa Pribadi yang hendak kita ketahui sesungguhnya melampaui daya pikir kita. Kita harus berangkat dari pengakuan bahwa sesungguhnya kita sedang berdiri di hadapan Allah yang misterius. Inilah titik mula jika kita ingin memulai pengenalan kita akan Tuhan menurut tradisi Ortodoks Timur.
Kita tentu langsung mengerti mengapa Louth dan saudara-saudara kita dari Ortodoks Timur menyatakan bahwa 'titik mula' yang mereka maksud itu adalah worship atau menyembah. Menyadari dan mengakui bahwa Allah terlalu misterius untuk diselidiki oleh akal manusia sesungguhnya adalah sebuah sikap menyembah. Dan worship bukan hanya menjadi 'titik mula' tetapi juga 'titik puncak': mulai dengan sikap menyembah, dan setelah kita 'mengenal' Tuhan, kita pun sekali lagi tersungkur menyembah Dia. Kita juga akan semakin paham mengapa ibadah atau liturgi seolah menjadi titik berangkat dari mereka. Jika kita bertanya kepada orang Ortodoks dari mana saya harus mulai jika ingin mengenal Tuhan, jawabannya adalah: mulai dari ibadah Minggu. Mengapa? Sebab di waktu itulah kita diajak untuk berhadapan dengan Allah yang misterius.
Saya belum pernah beribadah di gereja Ortodoks. Namun berdasarkan beberapa informasi yang saya dapatkan, ritual dan ornamen tertentu sengaja dihadirkan untuk menolong jemaat ingat bahwa mereka berhadapan dengan Allah yang misterius. Saya tentu tidak mengatakan bahwa kita harus mengadopsi tradisi mereka ke dalam ibadah kita--meski dalam beberapa hal saya mungkin akan setuju. Tetapi jika kita mencermati ibadah di gereja-gereja berlatarbelakang Injili, bukankah perasaan bahwa kita sedang berada di hadapan Allah yang misterius itu kian pudar. Kita harus mengakui, mungkin kita terlalu overfamiliar dengan Tuhan!
Lantas bagaimana kita bisa mencoba untuk mengembalikan kesadaran tersebut, khususnya di dalam konteks ibadah Minggu? Langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan mengambil waktu teduh sebelum ibadah. Yang saya maksud bukanlah sekadar diam tidak bersuara dan tutup mata. Bukan juga sekadar menaikkan doa, sebab seringkali saya menemukan ada yang beranggapan bahwa itu adalah waktu untuk berdoa apa saja kepada Tuhan; mungkin dianggap lebih manjur jika doanya sebelum ibadah. Lalu apa yang sebaiknya kita minta kepada Tuhan? Ini yang saya minta tadi pagi sebelum ibadah mulai:
"Tuhan, Engkau terlalu besar untuk diselami,
Engkau terlalu misterius bagi pikiranku yang terbatas ini.
Segala doa dan pujianku tidak cukup untuk menjelaskan siapa Engkau.
Tapi aku rindu menyembah-Mu, aku rindu berjumpa dengan-Mu, aku rindu mengenal-Mu.
Mohon Engkau beranugerah. Mohon Allah Roh Kudus memimpin dan menolongku. Amin!"
Puji Tuhan, ada pengalaman dan berkat yang saya terima. Doa tersebut menolong saya untuk tidak hanya sekadar melihat pujian sebagai nyanyian, tetapi sebagai pengakuan akan ke-'misterius'-an (baca: kebesaran) Tuhan. Khotbah tidak semata-mata hanya waktu mendengar penjelasan firman, tetapi menjadi moment mendengarkan apa yang Sang Misteri itu nyatakan kali ini. Perjamuan Kudus tidak hanya rutinitas belaka, tetapi menjadi kesempatan menantikan bagaimana roti dan anggur secara misterius (di luar kemampuan akal) memberi nutrisi bagi jiwa saya. Ketika ibadah berakhir, ada rasa syukur yang meluap-luap, sebab Pribadi yang misterius itu berkenan untuk ditemui.
Saya bertekad, inilah permohonan saya setiap kali datang menghadap Tuhan. Tujuannya sederhana: (1) agar saya tidak lupa bahwa saya sedang berhadapan dengan Pribadi yang misterius; (2) agar saya ingat bahwa sepanjang ibadah saya membutuhkan anugerah-Nya untuk mengalami dan mengenal Dia, dan; (3) agar seusai ibadah, saya tidak berhenti untuk selalu rindu 'menyembah' (baca: mengenal) Dia di dalam keseharian.
Bagaimana dengan anda?
Comments
Post a Comment