Dulu sewaktu di seminari, saya sering mendengar kisah perjuangan para dosen yang pernah menempuh studi lanjut di Amerika. Salah satu cerita yang paling umum selain berjuang untuk beradaptasi adalah berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ya, mereka harus belajar sambil bekerja di kampus. Bekerja sebagai janitor atau tukang bersih-bersih adalah jenis pekerjaan yang relatif paling mudah didapatkan mengingat pekerjaan di kampus sangat terbatas. Dan itulah yang mereka kerjakan! Dulu saya sulit membayangkan mereka yang adalah dosen saya harus bekerja sebagai janitor. Namun sekarang, saya pun menjalani kisah yang sama dengan mereka. Sudah sekitar 6 bulan lamanya saya bekerja membersihkan WC di kampus.
Salah seorang teman di sini pernah nyeletuk dengan nada bercanda: "Kerja janitorial menolong kita untuk tetap rendah hati." Saya setuju dengan beliau. Bukan berarti menjadi janitor adalah pekerjaan yang lebih rendah, sebab setidaknya di sini, membersihkan WC dan menjadi asisten dosen gajinya relatif sama nominalnya. Saya setuju sebab setiap kali saya membersihkan WC, bergulat dengan sampah, kotoran, dan bau tidak sedap, saya diingatkan untuk belajar rendah hati. Lah kok bisa?
Secara fisik misalnya, saya harus berulang kali menunduk. Menunduk adalah ekspresi merendahkan diri. Membersihkan WC seolah menjadi latihan untuk mewujudkan kerohanian (embodied spirituality) agar tidak hanya bersifat abstrak semata. Lagipula spiritualitas Kristen tidak pernah berhenti di diskusi-diskusi imajiner yang mengawang-awang dan tidak kelihatan praktiknya; itu adalah spiritualitas gnostik!
Secara akal, saya selalu tahu bahwa ini seperti melakukan aktivitas yang sia-sia. Segera sesudah WC-nya bersih, akan ada lagi yang sengaja atau tidak mengotorinya. Dan, tidak ada yang memuji atau penasaran siapa yang membuat WC-nya begitu bersih dan wangi. Terus terang, meminjam ungkapan yang sedang kekinian, "di situ kadang saya merasa sedih." Tetapi lagi-lagi kurikulum rendah hati berperan. Saya belajar bahwa tekun dan tidak mencari pujian adalah karakteristik dari kerendahan hati. Lagipula, ini adalah karakter yang diperlukan di dalam pelayanan penggembalaan di gereja. Tekun untuk mengasihi dan melayani domba-domba milik Tuhan, tanpa harus terganggu dengan adanya pujian atau tidak.
Ah, perenungan ini mengingatkan saya akan pesan dari Pdt. Hendra Mulia dan Pdt. Daniel Lukito sebelum saya berangkat studi: Jangan lupa untuk terus rendah hati! Namun malam ini, ada satu figur lagi yang juga mengatakan tentang pentingnya rendah hati. Kalimat ini tidak langsung ditujukan secara pribadi kepada saya, sebab ini adalah pesan dari Agustinus kepada muridnya yang bernama Dioscorus. Karena tanpa sengaja saya menemukan kalimat ini, saya rasa pesan ini pun juga untuk saya. Dioscorus bertanya kepada gurunya tentang cara untuk mencapai kebajikan tertinggi yaitu mengenal Tuhan. Inilah jawaban Agustinus:
Cara itu adalah, pertama, rendah hati; kedua, rendah hati; ketiga, rendah hati;
dan berapa banyak kali pun engkau menanyakannya, aku akan mengatakan kepadamu, rendah hati.
Bukannya aku tidak bisa memberitahukanmu prinsip-prinsip lain, tetapi tanpa rendah hati
yang mendahului, mengiringi, dan mengakhiri seluruh perbuatan-perbuatan baik kita,
dan yang menjadi sasaran yang kepadanya kita terarah,
yang menjadi patokan yang kepadanya kita berpegang,
dan yang menjadi liang yang mewadahi kita;
kesombongan akan merenggut nikmatnya perbuatan baik dari genggaman kita.
Masih ada sekitar 6 bulan lagi bekerja di WC. Semoga Tuhan berkenan menyatakan dirinya, sekalipun di tempat yang mungkin tidak terhormat seperti WC. Ah, dunia yang hina ini saja Ia datangi, apalagi hanya sekadar WC!
Grand Rapids
Mengawali 2017
Comments
Post a Comment