Judul di atas adalah satu dari beberapa himne yang saya dan istri sukai, bahkan sejak kami masih di seminari. Lagu ini spesial karena dua alasan. Pertama, masa-masa pacaran kami banyak dipenuhi dengan air mata. Kedua, masa-masa studi juga ditempuh dengan berbagai pergumulan. Namun Tuhan tidak pernah meninggalkan kami. Kasih setia-Nya betul-betul "s'lalu baru tiap pagi."
Hari Minggu kemarin saya dan istri memperingati sekali lagi kasih setia Tuhan yang tidak pernah berubah, khususnya dalam kehidupan pernikahan kami. Saya seakan masih tidak percaya bahwa empat tahun silam, yaitu 7 Desember 2010, Tuhan mempersatukan kami dalam ikatan pernikahan kudus. Tuhan sangat baik bagi kami. Masa-masa yang sebelumnya dipenuhi dengan tangisan, digantikan dengan sukacita yang melimpah selama 4 tahun ini. Tentu saja ada kalanya kami gagal mengasihi dan menghormati satu sama lain. Namun inilah berita baiknya: Tuhan tidak pernah gagal dalam membentuk kami lewat berbagai kegagalan yang Ia izinkan. Kasih setia-Nya yang menopang kami.
Karena jatuh di hari Minggu, tidak ada perayaan khusus. Kami sudah terlalu lelah secara fisik karena seharian beraktivitas, apalagi istri saya harus berkhotbah di natal anak-anak. Esoknya pun tidak ada perayaan khusus. Istri saya kurang sehat, dan kami harus mengaku bahwa kami butuh istirahat lagi hari ini. Namun saya tergelitik untuk membuka kembali "harta karun" kami. Itu adalah setumpuk kertas yang bagi orang lain tidak ada nilainya, namun bagi saya dan istri sangat amat bernilai. Di seminari kami tidak diizinkan memakai laptop dan HP. Maka surat menjadi sarana komunikasi yang dominan. Tidak heran jika "surat cinta" kami banyak. Ajaibnya, kami masih menyimpan hampir semua surat dan sejumlah notes pendek. Foto di atas adalah sebagian kecil notes yang pernah dikirimkan oleh pacar saya (sekarang istri) kepada saya semasa kami di seminari. Membacanya sekali lagi, sungguh hati ini terharu oleh kasih setia Tuhan.
Surat saja rasanya kurang. Maka tiap ada kesempatan, entahkah saat masih di seminari, waktu liburan di rumah masing-masing, atau ketika di tempat praktik masing-masing, saya berusaha untuk menelpon dia. Saya tidak bisa lupa betapa mahalnya biaya interlokal waktu itu. Harus cari wartel pula! Foto di sebelah adalah nota-nota dari wartel :)
Ada satu surat yang menarik perhatian saya. Jujur, saya hampir tidak ingat bahwa saya pernah menerima surat ini. Surat ini berisi sebuah doa yang dikutip entah dari mana. Di balik tulisan doa itu, ada sebuah kalimat tulisan tangan dari dia: "Aku lihat ada doa ini yg bagus, & aku mau mendoakannya." Ini doa tersebut.
Saya rindu doa ini menjadi komitmen saya sekali lagi, khususnya bagian yang pertama, yaitu menjadi seorang pria yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan lebih dari segala sesuatu. Hanya dengan itulah saya bisa menjalani kehidupan pernikahan dengan benar di hadapan Tuhan, istri dan anak saya, juga di hadapan orang lain.
Hari Minggu kemarin saya dan istri memperingati sekali lagi kasih setia Tuhan yang tidak pernah berubah, khususnya dalam kehidupan pernikahan kami. Saya seakan masih tidak percaya bahwa empat tahun silam, yaitu 7 Desember 2010, Tuhan mempersatukan kami dalam ikatan pernikahan kudus. Tuhan sangat baik bagi kami. Masa-masa yang sebelumnya dipenuhi dengan tangisan, digantikan dengan sukacita yang melimpah selama 4 tahun ini. Tentu saja ada kalanya kami gagal mengasihi dan menghormati satu sama lain. Namun inilah berita baiknya: Tuhan tidak pernah gagal dalam membentuk kami lewat berbagai kegagalan yang Ia izinkan. Kasih setia-Nya yang menopang kami.
Karena jatuh di hari Minggu, tidak ada perayaan khusus. Kami sudah terlalu lelah secara fisik karena seharian beraktivitas, apalagi istri saya harus berkhotbah di natal anak-anak. Esoknya pun tidak ada perayaan khusus. Istri saya kurang sehat, dan kami harus mengaku bahwa kami butuh istirahat lagi hari ini. Namun saya tergelitik untuk membuka kembali "harta karun" kami. Itu adalah setumpuk kertas yang bagi orang lain tidak ada nilainya, namun bagi saya dan istri sangat amat bernilai. Di seminari kami tidak diizinkan memakai laptop dan HP. Maka surat menjadi sarana komunikasi yang dominan. Tidak heran jika "surat cinta" kami banyak. Ajaibnya, kami masih menyimpan hampir semua surat dan sejumlah notes pendek. Foto di atas adalah sebagian kecil notes yang pernah dikirimkan oleh pacar saya (sekarang istri) kepada saya semasa kami di seminari. Membacanya sekali lagi, sungguh hati ini terharu oleh kasih setia Tuhan.
Surat saja rasanya kurang. Maka tiap ada kesempatan, entahkah saat masih di seminari, waktu liburan di rumah masing-masing, atau ketika di tempat praktik masing-masing, saya berusaha untuk menelpon dia. Saya tidak bisa lupa betapa mahalnya biaya interlokal waktu itu. Harus cari wartel pula! Foto di sebelah adalah nota-nota dari wartel :)
Ada satu surat yang menarik perhatian saya. Jujur, saya hampir tidak ingat bahwa saya pernah menerima surat ini. Surat ini berisi sebuah doa yang dikutip entah dari mana. Di balik tulisan doa itu, ada sebuah kalimat tulisan tangan dari dia: "Aku lihat ada doa ini yg bagus, & aku mau mendoakannya." Ini doa tersebut.
Saya rindu doa ini menjadi komitmen saya sekali lagi, khususnya bagian yang pertama, yaitu menjadi seorang pria yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan lebih dari segala sesuatu. Hanya dengan itulah saya bisa menjalani kehidupan pernikahan dengan benar di hadapan Tuhan, istri dan anak saya, juga di hadapan orang lain.
Comments
Post a Comment