Skip to main content

Minggu Terakhir Part 1

Kemarin (25/1) adalah hari terakhir saya menjabat sebagai Pjs. Gembala GKY Singapore.  Di dalam sebuah ibadah yang sederhana namun penuh makna, kemarin GKY Bakal Jemaat Singapore telah didewasakan menjadi jemaat mandiri.  Di dalam acara yang sama, mantan dosen dan rekan senior saya, Pdt. Timotius Fu, diteguhkan sebagai gembala, dan seluruh rekan-rekan pengurus yang bersama-sama melayani diteguhkan sebagai majelis.  Saya bersyukur karena bisa hadir dalam upacara tersebut, bahkan terlebih bersyukur karena saya dipercayakan untuk menjadi pemimpin ibadah.  Namun ucapan syukur yang terbesar adalah karena saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bersama-sama dengan jemaat mengalami sendiri anugerah Tuhan bagi gereja-Nya.

Beberapa waktu terakhir ini, hari-hari saya diisi dengan pertemuan-pertemuan yang penuh makna dengan sejumlah anggota jemaat GKY Singapore.  Kami makan bersama, ngobrol bersama, tertawa bersama, dan berdoa bersama.  Saya sungguh terharu dengan kebaikan Tuhan melalui jemaat yang Dia percayakan untuk saya layani selama 2 tahun lebih.  Meski sebentar lagi kami akan meninggalkan Singapore, namun saya yakin kenangan saya dan keluarga akan kehidupan bergereja di sini akan tinggal tetap di dalam ingatan kami.

Ada dua hal menarik yang menguasai benak saya selama beberapa hari terakhir.  Pertama, firman Tuhan yang saya baca dan dengar.  Dua hari lalu, pembacaan Alkitab dalam meditasi pribadi sampai di kitab Ester.  Setelah 2 pasal berlalu, hal yang menggema dalam hati saya tetap sama: Tuhan selalu punya cara untuk menggenapi apa yang Dia inginkan melalui hidup kita.  Menariknya, hari ini (26/1) saya khusus datang ke TTC untuk memberi dukungan kepada sahabat saya, Peter Ticoalu, yang bertugas khotbah di chapel.  Pesan utama dari khotbahnya--yang teksnya ditentukan oleh sekolah--sangat straightforward: ketika Tuhan meminta kita untuk melepaskan sesuatu, taatilah, sebab Ia yang berdaulat atas hidup kita, pelayanan kita, dan orang-orang yang kita layani.  Saya segera tahu bahwa Tuhan ingin menyampaikan sesuatu yang khusus ketika saya akan menyelesaikan pelayanan di Singapore dan memulai pelayanan di tempat yang baru.  "Tuhan selalu punya cara untuk menggenapi apa yang Dia inginkan melalui hidup kita.  Maka ketika Dia meminta kita untuk melepaskan sesuatu, taatilah Dia," kira-kira itu pelajaran yang saya terima.

Kedua, tanpa saya ketahui, rekan-rekan pengurus membuat semacam "kejutan" untuk saya di malam ucapan syukur pendewasaan GKY Singapore, hari Sabtu kemarin.  Sebagai apresiasi, mereka memberikan sebuah kenang-kenangan seperti di gambar.  Di bawahnya tertera firman Tuhan dari Yes. 40:31, "tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah."  Saya pernah mengkhotbahkan teks ini di dalam ibadah penutup retreat GKY Singapore di tahun 2013 silam.  Hari itu saya mengajak jemaat untuk bersama-sama memfokuskan seluruh tenaga dan perhatian kita kepada Tuhan, agar kita beroleh kekuatan yang dibutuhkan untuk menjalani hidup yang penuh misteri. Sekarang, ayat ini berbicara lagi kepada saya. Saya tidak tahu apa yang ada di depan, dan bukan tugas saya untuk mencari tahu apalagi mengaturnya.  Tapi yang saya tahu dan harus saya lakukan cukup hanya "menanti-nantikan Tuhan." Apakah ini sekadar kebetulan? Saya percaya tidak.

Minggu ini adalah minggu terakhir kami di sini, dan saya akan menyampaikan dua khotbah terakhir.  Di persekutuan pemuda hari Sabtu, saya akan membicarakan tentang sesuatu yang menggerakkan kehidupan manusia, sesuatu yang disebut passion.  Temanya: The Quest for A Passionate Life.  Di dua kali ibadah Minggu, saya akan berbicara tentang apa yang penting dalam kehidupan bergereja.  Kiranya Allah Roh Kudus mempersiapkan hamba-Nya dan jemaat-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi lanjut ditunda lagi untuk waktu yang tidak ditentukan,      meski engkau baru saja