Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

Jadikan Aku Tuhan, "Karet Gelang-Mu"

Sound familiar ? Betul, saya memang sedikit "memelesetkan" bagian reff dari sebuah lagu yang cukup populer di persekutuan-persekutuan doa di banyak gereja, "Jadikan Aku Rumah Doa-Mu." Tidak ada yang salah dengan kalimat lagu tersebut. Lalu pertanyaannya, "Kenapa dipelesetkan?" Penasaran toh. Begini ceritanya . . . Dari kemarin (10/11) saya terus mencari apa yang spesial di hari itu. Bukan! Saya tidak mencari hadiah atau kue ulang tahun, meskipun itu adalah hari ulang tahun saya. Ngomong2 , sebelum lupa, terima kasih untuk teman-teman yang sudah mengucapkan selamat maupun mendoakan saya. Yang saya cari adalah apa pesan khusus dari Tuhan yang perlu saya refleksikan di hari yang bersejarah dan tidak akan terulang lagi ini. Well,  tampaknya tidak ada. Kebetulan kami sekeluarga sedang sibuk. Anak di sekolah, istri ada beberapa pertemuan, saya bergulat dengan Martin Luther. Hari yang spesial diakhiri dengan kerja membersihkan toilet di kampus. Pagi tad

Terima Kasih, Anakku!

" I wonder what present I will get on my birthday !" Rasanya hampir tidak percaya mendengar kalimat itu keluar dari mulut anak kami beberapa hari lalu. Ya, saya takjub melihat bagaimana dia bertumbuh begitu cepat. Saat kami pindah ke Singapore, dia masih belajar berbicara dalam bahasa Indonesia. Saat kami pindah ke Grand Rapids, dia sama sekali tidak berbicara dalam bahasa Inggris kecuali melafalkan alfabet dan angka, serta beberapa kata-kata pendek yang umum. Namun sekarang, kami sebagai orangtua sulit untuk menyimpulkan apakah dia cakap berbahasa Indonesia atau Inggris, sebab nampaknya dua bahasa tersebut berkembang secara bersamaan dalam diri anak kami. Kembali ke kalimat di atas, diam-diam dalam hati saya berkata: "Oalah nak, papamu bahkan baru bisa dan terbiasa pakai frasa ' I wonder ' baru-baru ini. Eh kamu masih kecil sudah bisa ngomong ' I wonder. ' Nasib!" :) Hari ini anak kami tepat berusia 5 tahun menurut waktu Grand Rapids. Alih-alih

Allah yang Misterius

Bagaimana kita mencoba mengetahui Tuhan di tengah fakta  bahwa sejatinya Dia tidak mampu kita ketahui ? Kira-kira itulah bagian yang sangat menggelitik saya ketika membaca tulisan Andrew Louth, Introducing Eastern Theology . Ya, memang akhir-akhir ini saya tertarik dengan tradisi Kekristenan Timur, dan membeli buku ini adalah salah satu upaya berkenalan lebih dalam. Mungkin sama seperti saya, anda pun akan terkesima dengan banyaknya hal-hal berharga yang bisa dipelajari dari mereka, sebagaimana juga yang kita bisa pelajari dari saudara-saudara di tradisi Katolik, atau tradisi lainnya. Louth mendekati pertanyaan di atas dari sudut yang berbeda, yaitu dari sudut pandang tradisi Ortodoks Timur. Menurutnya, pada umumnya kita mulai dari doktrin, misalnya doktrin Allah. Tetapi sekali lagi, bagaimana kita bisa mencoba mengetahui Allah sementara faktanya Dia tidak mampu kita ketahui? Dia mengusulkan, kita seharusnya mulai dari sebuah kesadaran ( awareness ) bahwa Pribadi yang hendak

Lilian dan Rabu Abu

Malam ini merupakan moment  yang spesial bagi kami. Bersama dengan gereja-gereja di seantero bumi, kami datang ke gereja dan memperingati Rabu Abu ( Ash Wednesday ). Peringatan ini menjadi tanda dimulainya masa 40 hari menjelang Paskah (minus hari Minggu), yang disebut masa Lent. Sekadar informasi, Lent sudah menjadi bagian dari kehidupan gereja sejak kira-kira abad ke-2 atau 3, meski durasi 40 hari merupakan perkembangan di beberapa abad kemudian. Mengapa spesial bagi kami? Pertama , ini adalah moment pertama kalinya kami khusus ke gereja memperingati Rabu Abu. Gereja tempat kami beribadah menyelenggarakan ibadah khusus, dan ini adalah Christian Reformed Church in North America, salah satu denominasi Reformed yang tertua. Kedua , ini pun adalah pertama kalinya kami menerima tanda abu di dahi, sebagai simbol yang mengingatkan bahwa "manusia berasal dari debu dan suatu saat akan kembali menjadi debu." Bagi kami, tentu pengalaman ini sangat berkesan kuat; sama kuatnya

Gereja dan Ibu

Dua minggu terakhir ini, saya sedang membaca sebuah buku berjudul Christianity in Roman Africa: The Development of Its Practices and Beliefs  (Grand Rapids: Eerdmans, 2014). Kebetulan dosen saya di CTS, Dr. John Witvliet, yang menyuruh saya untuk menghabiskan buku setebal 670 halaman ini selama liburan musim dingin, sewaktu saya meminta panduan beliau untuk studi mandiri saya. Ada beberapa hal menarik dari buku ini, khususnya karena buku ini mencatat sejarah perkembangan ritual dan teologi di gereja-gereja di Afrika Utara, dari kira-kira abad ke-2 hingga abad ke-7. Meski khususnya penting bagi mereka yang mendalami ibadah, buku ini juga penting karena berpusat pada 3 tokoh penting dalam sejarah gereja: Tertullian, Cyprian, dan Augustine. 1 bab dari buku ini khusus mengulas bukti-bukti arkeologis yang dapat memberikan gambaran ritual-ritual yang dipraktikkan gereja pada masa itu, seperti bentuk bangunan gereja, ornamen-ornamen dan arsitekturnya, termasuk kolam baptisan dan kuburan.

Mengapa Mendalami Ibadah?

Itu adalah pertanyaan yang beberapa kali dikemukan kepada saya, ketika saya mengisahkan rencana saya untuk studi lanjut, dan bidang apa yang akan saya tekuni. Cukup banyak yang mengapresiasi bahkan mendukung pilihan saya. Tetapi ada juga yang merasa heran: "Apa perlu sampai sekolah lagi, jauh-jauh ke Amerika, dengan biaya yang besar, hanya untuk belajar tentang ibadah?" Ada pula yang bertanya-tanya: "Untuk apa lulusan teologi, seorang rohaniwan purnawaktu di gereja yang kebanyakan tugasnya seputar mengajar dan berkhotbah, lalu mengambil gelar di bidang ibadah? Mestinya serahkan saja bidang itu kepada mereka yang lulusan musik gereja." Juga ada yang berkomentar: "Oh Th.M (Master of Theology) bidang ibadah? Memangnya ada ya? Bukannya ibadah itu urusan praktis dan bukan akademik ya? Berarti mendalami yang praktis-praktis saja dong?" Dan tentu saja ada yang berpikir: "Bakal mendalami musik ya?" (sebab mereka tahu saya suka dan bisa bermain musik).

Christ Be My Light: Resolusi 2016

Banyak orang menutup tahun 2015 dan membuka tahun 2016 dengan membuat resolusi. Resolusi seakan telah menjadi aktivitas rutin di penghujung atau pembuka tahun. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan secara spesifik apa yang menjadi resolusi saya tahun ini. Salah satu alasannya sangat sederhana: saya berulangkali gagal mewujudkannya. Namun pagi ini, saya terdorong untuk membuat sejenis "resolusi." Celakanya, ini tidak lebih sederhana dari resolusi-resolusi yang pernah saya buat, dan yang gagal saya wujudkan di tahun-tahun sebelumnya. Begini ceritanya: Mungkin tidak banyak yang tahu (khususnya di Indonesia) bahwa tanggal 6 Januari adalah hari yang spesial di dalam sejarah gereja. Berabad-abad gereja memperingati hari raya yang disebut "Epiphany" ini. Sayangnya, kebanyakan gereja modern lebih menonjolkan Natal dan Paskah daripada Epiphany. Singkatnya, Epiphany berasal dari kata Yunani yang bisa diterjemahkan sebagai "menyatakan ( to reveal )," atau &quo