Skip to main content

Christ Be My Light: Resolusi 2016

Banyak orang menutup tahun 2015 dan membuka tahun 2016 dengan membuat resolusi. Resolusi seakan telah menjadi aktivitas rutin di penghujung atau pembuka tahun. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan secara spesifik apa yang menjadi resolusi saya tahun ini. Salah satu alasannya sangat sederhana: saya berulangkali gagal mewujudkannya.
Namun pagi ini, saya terdorong untuk membuat sejenis "resolusi." Celakanya, ini tidak lebih sederhana dari resolusi-resolusi yang pernah saya buat, dan yang gagal saya wujudkan di tahun-tahun sebelumnya. Begini ceritanya:
Mungkin tidak banyak yang tahu (khususnya di Indonesia) bahwa tanggal 6 Januari adalah hari yang spesial di dalam sejarah gereja. Berabad-abad gereja memperingati hari raya yang disebut "Epiphany" ini. Sayangnya, kebanyakan gereja modern lebih menonjolkan Natal dan Paskah daripada Epiphany.
Singkatnya, Epiphany berasal dari kata Yunani yang bisa diterjemahkan sebagai "menyatakan (to reveal)," atau "menyinari (to shine upon)," atau "menampakkan (to appear, to manifest)." Di dalam sejarahnya, Epiphany memang merujuk pada 3 peristiwa penting dalam kehidupan Tuhan Yesus, yang menyatakan identitas diri-Nya, seperti: (1) kunjungan orang Majus yang menyembah Yesus sebagai "Raja"; (2) peristiwa pembaptisan Yesus yang diakhiri dengan suara dari surga yang menyatakan Yesus sebagai "Anak Allah"; (3) peristiwa mujizat air menjadi anggur di Kana yang menyatakan Yesus sebagai "Allah yang Mahakuasa." Maka Epiphany dirayakan untuk mengingatkan umat bahwa kita bisa mengenal Allah karena Dia terlebih dahulu menyatakan diri-Nya kepada kita.
Saya tahu hari raya ini, dan pernah memperkenalkan hari raya ini kepada jemaat GKY Singapore sewaktu saya menggembalakan di sana. Maka pagi ini (waktu Grand Rapids), saya khusus membaca Matius 2:1-12 di waktu devosi saya. Hitung-hitung persiapan hati dan pikiran, sebab besok hari raya ini akan diperingati di gereja di sini. Kemudian saya teringat akan sebuah lagu tentang Epiphany, yang diperkenalkan oleh Simon Chan, dosen saya di TTC beberapa tahun lalu. Sayang, saya belum sempat memperkenalkannya kepada jemaat GKY Singapore waktu itu. Judulnya "Christ Be Our Light." Besok lagu ini akan dinyanyikan, dan bersama beberapa rekan, saya akan menjadi pemusiknya. Maka saya mengambil gitar dan teks lagu tersebut, lalu mulai menyanyikannya. Singkatnya, lagu ini seolah berbicara sekali lagi kepada saya.

Longing for light, we wait in darkness. Longing for truth, we turn to You.
Make us your own, your holy people, light for the world to see.

Longing for peace, our world in troubled. Longing for hope, many despair.
Your word alone has pow'r to save us. Make us your living voice.

Longing for food, many are hungry. Longing for water, many still thirst.
Make us your bread broken for others, shared until all are fed.

Longing for shelter, many are homeless. Longing for warmth, many are cold.
Make us your building, sheltering others, walls made of living stone.

Many the gifts, many the people. Many the hearts that yearn to belong.
Let us be servants to one another, making Your kingdom come.

Christ be our light! Shine in our hearts, shine through the darkness.
Christ be our light! Shine in your church gathered today.
Saya menyimpulkan, berhasil atau tidaknya resolusi diwujudkan bukanlah soal apakah isinya sederhana atau kompleks. Resolusi haruslah dimulai dengan mengakui: (1) betapa gelapnya diri kita--yang masih bergumul dengan dosa; (2) betapa gelapnya dunia kita--yang dibelenggu oleh dosa, dan; (3) betapa gelapnya hari-hari kita--yang adalah misteri bagi kita. Dengan kesadaran seperti itulah kita memohon kepada Tuhan: "Christ, be our [my] light. Sebagaimana engkau pernah menyatakan diri-Mu kepada orang Majus, di hadapan Yohanes Pembaptis dan orang-orang Yahudi, di hadapan orang-orang di Kana, nyatakanlah diri-Mu sekali lagi kepada hamba. Sinari diri hamba yang gelap, terangi dunia yang gelap, dan tuntunlah hamba dalam terang-Mu."
Maka, ini resolusi saya tahun 2016: saya ingin agar Tuhan menjadi terangku. Itu berarti membiarkan Dia masuk dan membongkar-bangkir sisi gelap dalam diri saya. Itu berarti membiarkan kehendak-Nya yang bertahta dalam segala tindak-tanduk saya di dunia. Itu berarti membiarkan Dia yang menjadi jurumudi dalam perjalanan hidup saya.
Satu lagi, saya pun mendambakan agar inipun yang menjadi kerinduan umat Tuhan, gereja Tuhan di Indonesia. Alasannya karena lirik lagu ini adalah fakta yang nyata dalam keseharian kita. Kita bisa memikirkan banyak proyek/program untuk menjawab semua "longings" di atas. Tetapi tanpa Kristus yang menerangi, yang menyatakan diri-Nya, agaknya semua sia-sia.
Selamat Hari Raya Epiphany!

PS: Untuk melihat klip lagu di atas, silakan klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi lanjut ditunda lagi untuk waktu yang tidak ditentukan,      meski engkau baru saja