Skip to main content

Gereja dan Ibu

Dua minggu terakhir ini, saya sedang membaca sebuah buku berjudul Christianity in Roman Africa: The Development of Its Practices and Beliefs (Grand Rapids: Eerdmans, 2014). Kebetulan dosen saya di CTS, Dr. John Witvliet, yang menyuruh saya untuk menghabiskan buku setebal 670 halaman ini selama liburan musim dingin, sewaktu saya meminta panduan beliau untuk studi mandiri saya. Ada beberapa hal menarik dari buku ini, khususnya karena buku ini mencatat sejarah perkembangan ritual dan teologi di gereja-gereja di Afrika Utara, dari kira-kira abad ke-2 hingga abad ke-7. Meski khususnya penting bagi mereka yang mendalami ibadah, buku ini juga penting karena berpusat pada 3 tokoh penting dalam sejarah gereja: Tertullian, Cyprian, dan Augustine.

1 bab dari buku ini khusus mengulas bukti-bukti arkeologis yang dapat memberikan gambaran ritual-ritual yang dipraktikkan gereja pada masa itu, seperti bentuk bangunan gereja, ornamen-ornamen dan arsitekturnya, termasuk kolam baptisan dan kuburan. Sepanjang bab tersebut, ada banyak rujukan bahwa sejak permulaannya, orang-orang Kristen sudah memaknai gereja ibarat seorang ibu; misalnya melalui bentuk kolam baptisan, mozaik di dinding/lantai, dll. Kemudian di bagian akhir dari bab tersebut, penulis menyimpulkan bahwa di waktu itu, "The church building shaped the life and liturgy of the faithful and, when they died, it often opened its floor to receive their bodies" (163). Indah sekali!

Setelah membaca bab tersebut, saya semakin memahami arti di balik kalimat Cyprian ini: "You cannot have God as your Father if you do not have the Church as your Mother." Bayangkan, gereja ibarat seorang ibu yang melahirkan seorang anak melalui sakramen baptisan. Gereja juga bagaikan ibu yang menyuapi anaknya dengan berbagai makanan rohani, yaitu firman dan perjamuan kudus. Tatkala si anak berbuat salah, si "ibu" mendisiplin sekaligus menerima si anak itu kembali melalui ritual pengakuan dosa dan janji pengampunan. Bahkan, di konteks saat itu, gereja juga seperti seorang ibu yang kasihnya melampaui umur si anak. Setelah si anak itu mati, pangkuan si "ibu"--yaitu ritual penguburan--yang menjadi tempat peristirahatannya.

Gereja, baik dulu maupun sekarang, sama seperti ibu biologis kita: tidak sempurna dan punya banyak kelemahan di sana-sini. Saya melihat sendiri kekurangan istri saya (apalagi saya) dalam hal membesarkan anak kami. Tetapi satu hal yang saya tahu pasti: anak saya "tidak bisa hidup" tanpa mamanya. Itulah sebabnya, meski seorang ibu tidak sempurna, dan banyak ibu yang disfungsi, tidak ada seorangpun yang menyangkali sebuah realitas, bahwa seorang anak mutlak membutuhkan seorang ibu. Demikian pula halnya dengan gereja. Meski gereja tidak sempurna, bahkan ada yang disfungsi, seorang Kristen mutlak membutuhkan gereja, sebab dirinya sendiri adalah "gereja," anggota tubuh Kristus.

Bercermin dari kenyataan tersebut--bahwa orang Kristen mutlak membutuhkan gereja, maka saya berandai-andai:

A. "Bukankah indah jika anak Tuhan tahu dan ingat bahwa gereja adalah 'ibu'-nya?"

Ia senantiasa rindu untuk mendatanginya,
sebab anak mana yang tidak mencari ibunya?
Ia begitu antusias diberi makan oleh ibunya,
sebab anak mana yang tidak kangen masakan ibunya?
Ia ingin berlama-lama ditemani ibunya,
sebab anak mana yang tahan berjauhan dengan ibunya?
Memang tak sempurna, namun tak ada tempat terbaik selain bersama ibunya,
sebab ibu mana di dunia ini yang sempurna?

B. "Pastilah mereka kerap berdiri di depan cermin, dan mengatakan kalimat ini kepada diri sendiri:"

Engkau lahir dari seorang ibu, bukan?
Maka jangan lupakan ibumu!
Engkau tidak mau kekurangan gizi, sakit, dan melarat, bukan?
Maka jangan jauh-jauh dari ibumu!
Engkau tidak ingin anakmu meninggalkanmu, bukan?
Maka jangan tinggalkan ibumu!
Engkau tidak sempurna, bukan?
Maka jangan buang ibumu yang tak sempurna!

C. "Dan tentu saja mereka tidak akan melewatkan kebaktian doa Rabu malam, serta menanti-nantikan datangnya Minggu depan untuk beribadah."


[Satu Minggu setelah Epiphany, sehabis ketemu si "Ibu" tadi pagi]





Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res