Skip to main content

Babak Baru

Akhirnya harinya datang juga. Kami harus meninggalkan rumah sementara kami di Singapore, untuk kembali ke tanah air. Berat rasanya melepas semua kebiasaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan kami selama lebih dari 2 tahun. Bukit Panjang Plaza, Blok 185, NTUC Fairprice, Kopitiam, EZ Link Card, Handy Road dan Queen Street, semua itu adalah bagian hidup kami di sana. Belum lagi berpisah dengan keluarga besar GKY Singapore. Farewell party and dinner selama bermalam-malam rasanya tidak cukup memuaskan rasa ingin terus menikmati persekutuan bersama mereka.

Kami tiba di Jakarta hari Jumat malam yang lalu. Hingga kemarin, selain beribadah dan ikut rapat, aktivitas dominan kami masih seputar membereskan dan membersihkan tempat tinggal baru kami. Maklum, bawaan kami kali ini berjumlah total 110 kg; tidak termasuk sekitar 200 kg yang sudah dikirim sebelumnya. Khusus kali ini, kami dianugerahi kesempatan untuk mengalami banjir di ibukota yang disertai mati lampu. Maklum, selama 4,5 tahun di sini saya tidak pernah sekalipun mengalami kebanjiran. Di Singapore bahkan tidak pernah mengalami banjir dan mati lampu. Alhasil, sore ini saya memaksa diri keluar dengan berbekal tas ransel dan payung, menerobos banjir setinggi lutut, demi mendapatkan bahan makanan di supermarket terdekat. Bahkan supermarket tersebut tidak luput dari kebanjiran. Untung masih tetap buka. Puji Tuhan!

Kemarin adalah hari Minggu pertama kami di Jakarta. Sudah jelas, kami masih merindukan ibadah bersama jemaat di GKY Singapore. Namun hal yang paling menarik bagi saya adalah khotbah di English Worship Service, di ibadah yang saya hadiri. Teksnya terambil dari Filipi 3:7-14, sama seperti teks yang saya bagikan di khotbah terakhir di Youth Fellowship. Hari itu, saya membagikan bagaimana Paulus hidup dengan passion yang diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Passion ini yang mengendalikan kehidupan Paulus. Maka Tuhan seolah “mendidik” saya sekali lagi lewat teks ini untuk terus meletakkan passion saya—sesuatu yang untuknya saya rela mati—di tangan Tuhan. Besok adalah hari pertama saya berkantor di GKY Mangga Besar, sekaligus menandai babak yang baru, yaitu masa-masa persiapan yang Tuhan sediakan selama 6 bulan ke depan untuk lebih available dipakai oleh Tuhan. Saya rindu passion kepada Tuhan dan jemaat-Nya mengisi hati dan pikiran saya. Saya rindu passion itu terpancar dan dirasakan melalui keseharian saya, khotbah dan berbagai pelayanan yang dipercayakan pada saya.



Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi lanjut ditunda lagi untuk waktu yang tidak ditentukan,      meski engkau baru saja