Skip to main content

Ibadah yang Bermakna dan Memaknai Ibadah

Hari ini (13/9) adalah hari Minggu yang kelima bagi kami di Grand Rapids. Sejak minggu yang pertama, kami beribadah di Christian Reformed Church, cabang Church of the Servant (COS). Bagi yang ingin mengenal lebih lanjut gereja ini, silakan klik di sini. Singkatnya, ini adalah gereja lokal yang mewarisi tradisi Gereja Reformed Belanda (Dutch Reformed Church). Alasan kami memilih gereja ini menjadi "rumah rohani" di Grand Rapids sangatlah sederhana: karena kami mengenal Worship Director-nya, dan karena mereka menggarap liturgi ibadah dengan serius dan kreatif. Kami bersyukur karena Minggu lalu kami bisa melayani sebagai pemusik di Basic English Service, dan hari ini sebagai Paduan Suara di Standard English Service. Ya, betul! Kami tidak mau hanya jadi pengunjung, sebab kami yakin bahwa orang Kristen adalah anggota tubuh Kristus. Di manapun kami berada, maka kami harus melakukan bagian kami demi kebaikan tubuh Kristus, dan demi kemuliaan Kristus.

Pagi ini, saya kembali mengakui bahwa selama lima kali beribadah di gereja ini, saya dan istri selalu mengalami ibadah yang bermakna. Tentu saja itu anugerah Tuhan, yang mengizinkan diri-Nya untuk ditemui oleh kami. Namun, saya lantas berpikir: apa lagi yang membuat ibadah di gereja ini bermakna? Salah satu yang menonjol adalah karena gereja ini, seperti yang saya cantumkan di atas, menggarap liturgi ibadah dengan serius dan kreatif. Bagi saya dan istri yang menyukai musik, pernah melayani di bidang ibadah, dan memang berbeban dengan bidang ibadah, liturgi (baca: the work of the people) gereja ini benar-benar sangat bisa dinikmati. Saya sungguh menaruh respek yang tinggi kepada sahabat saya Greg Scheer, worship director gereja ini, yang dengan penuh dedikasi mempersiapkan ibadah minggu demi minggu. Di lain waktu, saya akan ceritakan lebih detil tentang liturgi ibadah di sini.

Namun saya tidak puas. Apa lagi? Anugerah Tuhan dan liturgi yang baik, dua-duanya adalah faktor eksternal. Jelas tanpa keduanya--khususnya yang pertama--tidak mungkin ada ibadah yang bermakna. Tetapi apa faktor internalnya, yaitu aspek yang menjadi tanggung jawab saya sebagai "the worshipper"? Saya rasa jawabannya adalah: "saya harus memaknai ibadah." Saya harus menjadikan ibadah Minggu sebagai waktu yang bermakna, yang tidak boleh saya lewatkan tanpa keseriusan. "Saya memaknai ibadah," bukan berarti saya memberikan atau menambahkan nilai/makna kepada sebuah aktivitas atau ritual yang bernama "ibadah," tetapi karena saya betul-betul menyadari dan mengakui kebernilaian/kebermaknaan dari moment yang bernama "ibadah" itu.

Sesungguhnya tidak banyak yang kami lakukan di dalam rangka "memaknai ibadah." Saya dan istri hanya mempraktikkan dua hal sederhana. Dua hal ini pernah saya khotbahkan sewaktu masih menggembalakan jemaat GKY Singapore. Pertama, kami mencoba menyongsong hari Minggu dengan sebuah "awareness" bahwa kami akan memenuhi panggilan Tuhan. Maka tiap Sabtu malam, saya dan istri selalu mengingatkan kepada putri kami: "Lilian, besok adalah hari Minggu. Kita akan ke gereja. Kita mau ketemu Tuhan." Di sisi lain, kami pun seakan diingatkan juga bahwa sama seperti Lilian, kami pun harus bersiap-siap. Ada persiapan rohani, dan tentu juga persiapan jasmani seperti tidak pergi jalan di Sabtu malam, tidak tidur larut, dll. Trust me! Yang terakhir memang sepele, tetapi sungguh berdampak.

Kedua, kami berusaha sebisa mungkin untuk berpartisipasi aktif selama ibadah berlangsung. Ehm...saya mendengar bisikan-bisikan: "gua kagak tau lagunya, musiknya bikin ngantuk, pemimpinnya kurang ok." Izinkan saya berbagi! Di COS, puji-pujian dinyanyikan di dalam bahasa Inggris, menggunakan not balok. Bagi istri saya, no problem at all. Untuk saya, it's a big deal! Tunggu sebentar, saya belum selesai. Ada serangkaian tindakan beribadah (liturgical acts) yang tidak familiar bagi kami seperti: banyak bacaan bertanggapan, membawa persembahan ke altar, maju ke depan untuk ikut Perjamuan Kudus. Belum lagi ditambah dengan Lilian yang harus ikut ibadah dalam bahasa Inggris. Singkat kata: terlalu banyak halangan untuk berpartisipasi aktif! Namun kami bertekad, kami tidak boleh menyerah. Kami tidak boleh menjadi pasif dan berharap "anugerah Tuhan" diam-diam menghampiri kami. Bukan berarti apa yang kami lakukan begitu berkuasa hingga sanggup "membuka keran anugerah Tuhan." Tetapi karena dengan berpartisipasi aktif, kami menyediakan diri kami terbuka sepenuh-penuhnya untuk dilawat oleh Tuhan.

Tentu saja ini bukanlah akhir dari perjalanan beribadah kami di sini. Ini masih awal, sangat awal. Tetapi kami memiliki keyakinan bahwa Tuhan tahu kerinduan kami sekeluarga. Kami rindu untuk terus-menerus dilawat oleh Tuhan melalui ibadah Minggu. Maka menutup hari ini, saya memohon kepada Tuhan agar Minggu depan kami kembali diizinkan untuk memenuhi panggilan Tuhan, dan mengalami ibadah yang bermakna. Bagaimana dengan anda? Maukah anda berdoa bersama dengan kami?



Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res