Skip to main content

Happy New Year!

"Apa?! Ga salah? Bulan November saja masih belum berlalu, dan penulis blog ini sudah mengucapkan selamat tahun baru?"

Ya, betul. Anda tidak salah baca. Saya benar-benar mengucapkannya setulus hati saya kepada teman-teman semua. Dan, saya tidak salah membaca kalendar. Oh, tentu keliru jika mengacu pada civic calendar, yang memulai tahun baru di tanggal 1 Januari. Tetapi jika mengacu pada liturgical calendar, maka Minggu ini adalah tahun yang baru untuk kita. Hari ini (waktu Grand Rapids) adalah Minggu Advent yang pertama. Spontan muncul dalam ingatan saya: "Rasanya baru kemarin saya menulis pesan pastoral kepada jemaat GKY Singapore via blog selama 4 Minggu Advent. Rupanya sudah 1 tahun berlalu sejak saat itu."

"Advent, berarti Natal sudah dekat. Sebagian orang spontan bernostalgia, mengenang memori yang indah di Natal-natal sebelumnya. Sebagian lagi memilih sikap sinis, karena terlalu pesimis melihat dunia ini tidak kunjung damai meski sang Raja damai sudah datang 2000 tahun lalu." Kira-kira itulah sepenggal pendahuluan dari khotbah yang disampaikan Rev. Len Vander Zee pagi tadi. 

Len benar. Di masa menjelang Natal, gampang sekali kita terbuai dengan alunan lagu-lagu Natal dengan beragam kerlap-kerlip dekorasinya, termasuk diskon-diskon yang telah berhasil membuat kita tidak lagi (ingin) melihat bayi Yesus. Bukan hanya itu, kita bahkan lupa bersimpati dengan dunia yang dirundung dengan penderitaan. Kita merayakan segala kemeriahan, bahkan kemewahan Natal, tetapi menutup mata dan telinga serta melipat tangan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kelaparan yang begitu nyata di sekeliling kita.  

Di sisi lain, gampang sekali kita menjadi sinis, menolak sukacita Natal, sebab kita melihat dunia di sekeliling kita begitu kacau-balau, dan apalah artinya Natal jika damai tidak ada. Bukan hanya itu, kita bahkan tenggelam dalam ratap-tangis dan duka kita, dan menolak untuk percaya bahwa berita damai dari sang Juruselamat sungguh-sungguh benar. Kita terlalu sedih untuk melihat harapan pasti yang telah dijanjikan oleh Pribadi yang tidak pernah ingkar janji, sehingga kita terlalu tawar hati untuk mengusahakan (lagi) damai di dalam dunia yang tidak damai ini.

Len kemudian mengajak jemaat untuk tidak memaknai musim Advent dengan dua sikap di atas. Melainkan, mari kita menjadi orang-orang yang berpengharapan. Artinya, kita harus berani keluar dari "kotak nostalgia" dan membawa harapan kepada dunia yang kehilangan harapan. Artinya, kita juga harus mau keluar dari "ruang sinisme" dan kembali menguatkan mereka yang sudah kehilangan harapan. 

Sesuai dengan namanya, "Advent" berarti "Penantian." Setiap kali memasuki masa Advent kita diajak untuk ingat bahwa setiap kita hidup dalam masa penantian, yaitu menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali. Namun kita tidak boleh menanti dengan berpangku tangan, entah karena terlalu nyaman atau terlalu sedih. Kita harus menantikan Raja Damai itu datang kembali sembari mengupayakan damai di tengah dunia yang tidak damai ini, sebab sang Raja Damai itu pasti datang.

Seusai khotbah, ada sebuah lagu respons yang begitu menggugah hati dan pikiran saya. Semoga lagu ini pun mengingatkan bahkan menggugah kita semua, khususnya di masa-masa kita mengingat penantian kita yang pasti di dalam Kristus.

View the present through the promise, Christ will come again
Trust despite the deepening darkness, Christ will come again
Lift the world above its grieving through your watching and believing
in the hope past hope's convincing: Christ will come again

Probe the present with the promise, Christ will come again
Let your daily action witness, Christ will come again
Let your loving and your giving and your justice and forgiving
be a sign to all the living: Christ will come again

Match the present to the promise, Christ will come again
Make this hope your guiding premise, Christ will come again
Pattern all your circulating and the world you are creating
to the advent you are waiting: Christ will come again

Akhir kata, baik tahun baru yang sedang kita rayakan (Advent) maupun yang sedang kita songsong (1 Januari 2016), mari kita jalani sebagai orang-orang yang berpengharapan, sebab pengharapan kita bukan digantungkan pada situasi dunia, satu atau sekelompok orang, atau bahkan pada kekuatan kita, melainkan pada Allah Tritunggal yang menciptakan, menyelamatkan, dan memelihara kita.
 

First Sunday of Advent
Grand Rapids

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res