Skip to main content

Dear Adik-adikku

21 tahun lalu, tidak ada satupun dari antara kita berempat yang berani bermimpi untuk duduk di bangku kuliah.  Kita sama-sama tahu, dengan kondisi ekonomi keluarga kita yang morat-marit sejak 2 tahun sebelumnya, untuk biaya sekolah saja kita harus memohon keringanan.  Aku masih ingat, uang SPP-ku waktu itu hanya Rp.16.000 per bulan.  Itupun berat untuk kita.  Ditambah dengan berpulangnya papa kita yang terkasih, kita semua sadar bahwa kita hanya punya satu tujuan: menamatkan SMA dan bekerja.  Selagi kita masih belum mampu menghasilkan uang, satu-satunya yang kita bisa lakukan waktu itu adalah mengeluarkan uang sesedikit mungkin dari yang sudah sedikit itu.  Tentu saja ada banyak orang-orang yang senasib dengan kita, atau malah lebih susah hidupnya.  Namun masih teringat jelas waktu aku SMP, aku tidak punya uang mengganti sepatuku yang sudah ‘minta makan’.  Temanku, Andhika, dia yang memberikan sepatu bekasnya untukku. Kakak kelasku, Joseph, dia memberikan tas merk Alpina miliknya yang sudah penuh coretan dan kusam untukku, sehingga aku bisa sedikit berbangga karena menggendong tas yang lagi nge-trend di Balikpapan waktu itu.  Masih segar juga di ingatanku di suatu hari Jumat. Itu sudah ketiga kalinya aku terlambat ke sekolah. Kalian tentu masih ingat supir angkot selalu membuang muka setiap kali melihat anak berseragam sekolah melambaikan tangan, sebab sudah makan tempat, bayarnya cuma Rp. 300.  Aku dihukum oleh guru piket. Dia juga menegur kaus kakiku yang terlihat terlalu pendek. Sampai akhirnya dia lihat sendiri, kaus kakiku terlihat pendek karena karetnya sudah kendur. Aku tahu dia menyesal, sebab sesudah itu dia menyuruhku mencari karet gelang di kantin untuk membuat kaus kakiku terangkat. Siapa di antara kita yang berani membuka mulut di depan mama kita? Kita sama-sama tahu betapa kerasnya dia bekerja membanting tulang, dari pagi hingga malam, di dalam kota dan luar kota.  Masih ada nasi di rumah saja sudah bersyukur.

Ada satu hal yang membuatku takjub.  Bertahun-tahun kita tinggal di rumah yang nyaris rubuh, ditemani oleh laba-laba, kecoa, dan tikus yang nyaris sebesar kucing.  Bertahun-tahun juga kita hanya makan nasi dan telur kukus, yang dimasak dengan air dan garam yang banyak, supaya cukup untuk 5 mulut.  Bahkan saat teman-teman kita mulai berkawan dengan komputer, kita masih setia dengan 2 P—paper and pencil.  Herannya, kita masih bertahan.  Tidak ada yang terkena penyakit serius.  Di antara kita berempat, hanya aku yang masih kurus dan terlihat kurang gizi; kalian bertiga nampak sehat dan atletis.  Dan, satu-per-satu kita duduk di bangku kuliah.  Dua dari antara kita berempat mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan pascasarjana dari sekolah yang baik.  Aku bahkan mendapat bonus untuk bersekolah di luar negeri, dua kali!  Dan aku yakin, akan ada waktu-waktu di mana foto-foto dengan gaun kelulusan sudah terlalu penuh untuk digantung di dinding rumah mama kita.  Mimpikah kita?  Kita tidak berani bermimpi, tapi inilah mimpi terbesar mama kita sejak dulu: melihat anak-anaknya lulus kuliah.

Maka camkanlah hal ini: Gusti ora sare!  Mei 1996, saat papa kita meninggal, tidak ada satu pun hal baik yang kita bisa lihat.  Tetapi 21 tahun setelah hari itu, di mana Tuhan?  Rupanya Dia ada di hari-hari yang berat itu.  Dia tidak tidur bahkan pada waktu kita tertidur karena kelelahan akibat menangis seharian.  Dia memang membawa papa kita pulang ke pangkuan-Nya, tetapi Dia tidak melupakan kita dan membuang kita dari pangkuan kasih-Nya.  Aku adalah saksi hidup dari fakta ini, demikian pula kalian.  Maka, tataplah hari depan dengan kepala yang terangkat, dengan wajah yang senantiasa memandang kepada Tuhan.  Supaya kita tidak sombong ketika senang, tidak tawar hati ketika susah.  Supaya kita ingat untuk memuliakan Tuhan dalam segala sesuatu yang kita lakukan.  Hari ini, mimpi mama sudah terpenuhi. Kita semua sudah menyandang gelar sarjana.  Aku yakin dia punya mimpi yang baru: melihat anak-anaknya lulus dalam kuliah kehidupan.

26 Mei 2017,
di hari kelulusan Lucas, anak terakhir di keluarga Susanto


  


Comments

  1. Tuhan tidak tidur, dalam kesulitan dan penderitaan iman kita makin kuat dalam Dia. Sebuah pengalaman hidup yang dituang dalam tulisan sangat menyentuh, bagus dan hidup.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res