Skip to main content

Kemenangan di Tengah Pertandingan Hidup

Masa Prapaskah tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dan mungkin tahun-tahun sesudahnya. Perasaan berbeda ini akan memuncak di Jumat depan, yaitu di peringatan Jumat Agung.

Berbeda, karena biasanya di masa ini, ada begitu banyak ibadah khusus di gereja menjelang peringatan Jumat Agung dan Paskah. Tapi kali ini, sejak Minggu Prapaskah ke-3, gereja-gereja terpaksa mulai mengalihkan kebaktian di gereja ke ibadah online. Bahkan sudah hampir pasti, Jumat Agung dan Paskah tahun ini terpaksa dilakukan secara online. Seketika, segala persiapan dan perencanaan harus diubah, bahkan dibatalkan, demi menyesuaikan situasi. Bagi sebagian besar orang, ini pertama kalinya kita terpaksa beribadah Jumat Agung dan Paskah di rumah.

Berbeda, karena biasanya di masa ini, upaya untuk menyelami penderitaan Kristus yang tersalib itu seringkali hanya sebatas latihan mental (mental exercise), yaitu sebatas membayangkan betapa ngerinya penderitaan dan kematian yang harus dialami oleh seseorang bernama Yesus, jauh di dataran Palestina, jauh di 2000 tahun silam. Tapi kali ini, tanpa perlu himbauan yang intensif dan persuasif, perasaan dekat dengan penderitaan dan kematian itu muncul dengan sendirinya. Seketika, timbul kesadaran akan ngerinya dosa yang berbuahkan kematian itu. Bagi sebagian besar orang, ini pertama kalinya peringatan kematian Yesus dibarengi dengan kematian lebih dari 50 ribu orang; jumlah ini masih akan terus bertambah.

Meski kita akan memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah dalam ratapan dan keprihatinan, namun kita perlu ingat, that's not the end of the story, ini bukanlah akhir dari narasi Tuhan bagi dunia. Bukankah intisari dari Jumat Agung dan Paskah adalah tentang kemenangan (victory)? 

Salah satu lagu yang menolong kita untuk memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah di tengah situasi hari ini adalah lagu berjudul "In Christ Alone (Dalam Kristus)." Perhatikan liriknya:

[I]
In Christ alone my hope is found
He is my light, my strength, my song
This cornerstone, this solid ground
Firm through the fiercest drought and storm
What heights of love, what depths of peace
When fears are stilled, when strivings cease
My comforter, my all in all
Here in the love of Christ I stand

[II]
In Christ alone, Who took on flesh
Fullness of God in helpless babe
This gift of love and righteousness
Scorned by the ones He came to save
'Til on that cross as Jesus died
The wrath of God was satisfied
For every sin on Him was laid
Here in the death of Christ I live

[III]
There in the ground His body lay
Light of the world by darkness slain
Then bursting forth in glorious day
Up from the grave He rose again
And as He stands in victory
Sin's curse has lost its grip on me
For I am His and He is mine
Bought with the precious blood of Christ

[IV]
No guilt in life, no fear in death
This is the pow'r of Christ in me
From life's first cry to final breath
Jesus commands my destiny
No pow'r of hell, no scheme of man
Can ever pluck me from His hand
'Til He returns or calls me home
Here in the pow'r of Christ I'll stand

Ada banyak ide teologis di balik lagu ini. Saya hanya akan memilih dua poin refleksi saja, yang berangkat dari Roma 8:31-39.

Pertama, lihat bait I-II, di dalam Kristus kita adalah orang-orang yang menang. Kristuslah batu karang yang teguh. Ketika kita bersandar pada-Nya, maka di tengah kemarau dan badai hidup terganas sekalipun, kita dapat tetap teguh berdiri.  Dan jika Anda berpikir bahwa kemenangan baru direngkuh oleh Yesus ketika Dia bangkit, Anda keliru. Bahkan kematian-Nya adalah sebuah kemenangan, sebab melalui kematian Yesus, maut yang menjadi keniscayaan bagi manusia berdosa berhasil ditaklukkan. "Here in the death of Christ I live (di dalam kematian Kristus aku hidup)," begitu kata lagu ini. Itulah sebabnya John Owen, seorang tokoh penting di abad 17, menulis sebuah buku yang ia beri judul "Matinya Kematian Di Dalam Kematian Kristus (The Death of Death in the Death of Christ)." Itulah sebabnya Paulus menuliskan: "Tetapi dalam semuanya itu--yaitu di dalam anugerah keselamatan yang menjadikan kita pengikut Kristus--kita lebih dari pada orang-orang yang menang (Rm. 8:37)." Di tengah pandemi Covid-19 yang seolah mengalahkan kita, mari kita ingat kebenaran ini. Tidak ada yang bisa merebut kemenangan yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita, termasuk Covid-19, sebab kemenangan kita dijamin oleh kematian Kristus di kayu salib.

Kedua, perhatikan bait II-III, di dalam Kristus kita adalah milik kesayangan Allah untuk selamanya. Darah Kristus yang tercurah di atas kayu salib telah membayar lunas segala hutang dosa kita. Sejak saat itu, cengkeraman kutuk dosa telah kehilangan kekuatannya atas kita. Sejak saat itu, kita adalah milik Kristus, dan Kristus menjadi milik kita. Tidak ada satu kuasapun, baik di bumi maupun di akhirat, yang dapat merenggut kita dari tangan Kristus. Atau mengutip Paulus, apapun juga "tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita" (Rm. 8:39). Di tengah pandemi Covid-19 yang bisa sewaktu-waktu merenggut apa yang kita miliki termasuk nyawa kita, mari kita ingat kebenaran ini. Tidak ada yang bisa merenggut status kita sebagai milik kesayangan Allah, termasuk Covid-19, sebab status kita dijamin oleh Kristus yang telah bangkit dan menjadi Pembela kita.

Ya, memang masa Prapaskah tahun ini berbeda karena ada yang berubah. Demikian juga dengan Jumat Agung dan Paskah. Tapi di mata Allah, identitas dan status kita tidak akan berubah. Kita tetaplah orang-orang yang menang dan dikasihi Allah. Kenyataan ini lebih dari cukup untuk menguatkan kita menghadapi wabah apapun, termasuk Covid-19.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Istriku

Engkau tidak marah ketika orang lain memanggilmu Ibu Lucky,      meski nama yang diberikan orangtuamu mungkin lebih indah Engkau tidak keberatan ketika harus lebih banyak mengerjakan urusan domestik,      meski gelar akademik dan kemampuanmu tidak kurang Engkau tidak protes ketika suamimu sedang frustrasi dengan tugas-tugasnya,      meski mungkin tugas-tugasmu sebagai ibu rumah tangga tidak kalah beratnya Engkau rela tidurmu terganggu oleh teriakan dan tangisan anakmu,      meski dia tidak membawa nama keluargamu sebagai nama belakangnya Engkau rela menggantikan peran ayah ketika suamimu sedang dikejar tenggat waktu,      meski engkau sendiri pun sudah 'mati gaya' untuk memenuhi permintaan anakmu Engkau rela waktu dan perhatian suamimu acapkali lebih besar untuk anakmu,      meski engkau sudah memberikan perhatian yang tidak sedikit untuk suamimu Engkau rela keinginanmu studi lanjut ditunda lagi untuk waktu yang tidak ditentukan,      meski engkau baru saja