"The study of theology has never been an easy task. Writers in past ages of the church . . . have declared with a notable uniformity that the study of theology calls for a complete devotion on the part of the student. They were convinced that it demands a mastery of tools and sources, a grasp of language and philosophy, and an openness to, indeed, a desire for inward, spiritual formation and development."
"Studi teologi tidaklah pernah mudah. Para penulis di gereja masa lampau . . . telah mendeklarasikan dengan cukup serempak bahwa studi teologi menuntut pengabdian yang utuh dari pihak si pembelajar. Mereka yakin bahwa studi tersebut menuntut penguasaan berbagai perangkat dan sumber, pemahaman terhadap bahasa dan filsafat, dan sebuah keterbukaan, sebuah kerinduan terhadap perkembangan dan formasi spiritual yang sifatnya dari dalam."
Kalimat di atas dikutip dari tulisan Richard A. Muller, seorang ahli teologi historika di Calvin Theological Seminary (baru-baru ini telah emeritus/pensiun), yang berjudul The Study of Theology: From Biblical Interpretation to Contemporary Formulation (h. 19). Di dalam buku yang relatif singkat (xvii+237) namun sangat berbobot ini, Muller mendiskusikan pentingnya korelasi antara studi teoritis, dan implementasinya secara praktis. Saya membaca buku ini sebagai bagian dari bacaan wajib kuliah pertama dan satu-satunya di semester ini, Riset dan Metodologi.
Saya tidak ingin membahas secara komprehensif apa saja "bahan baku" yang dimiliki Muller (resources), bagaimana cara "memasaknya" (methodology), atau "sajian" yang sudah siap disantap (thesis/result). Jujur saja, saya masih berusaha "mengunyah" pelan-pelan tulisan sang profesor--beberapa kali "tersedak" dan "kegigit" :). Namun saya tertarik dengan tulisan di atas, yang dihasilkan dari riset Muller selama bertahun-tahun dalam bidangnya. Menarik bagi saya karena sekarang saya kembali menjadi "student." Menarik pula, sebab juga berbicara tentang apa yang diharapkan sebagai hasilnya.
Pertama, Muller mencatat bahwa "studi teologi menuntut pengabdian yang utuh dari pihak si pembelajar." Institusi pendidikan teologi dan segala perangkatnya--dosen, perpustakaan, komunitas--tentu memegang peranan yang tidak kecil. Namun "pengabdian yang utuh" si pembelajar, hemat saya, jauh lebih berperan besar. Bagi saya, itu berarti: (a) ada kesedian untuk diajar; (b) ada keseriusan dalam menimba ilmu sebanyak mungkin, dan; (c) ada komitmen untuk terus-menerus belajar seumur hidup. Tentu saja "pengabdian yang utuh" ini melampaui tembok institusi pendidikan, yang artinya tidak pernah berhenti; terus-menerus.
Kedua, Muller juga menemukan bahwa studi teologi tidaklah pernah semata-mata hanya urusan otak. Pembelajar teologi tidak hanya harus membuka dirinya untuk diisi berbagai pengetahuan, namun yang tidak kalah penting, adalah adanya "keterbukaan terhadap perkembangan dan formasi spiritual yang sifatnya dari dalam." Sederhananya, studi teologi juga mencakup urusan batin kita. Bagi saya, itu berarti: (a) ada kerinduan untuk mengalami kasih Allah Bapa, Pribadi yang menciptakan kita; (b) ada kemauan untuk serupa dengan Kristus, Pribadi yang kita sembah dan teladani; (c) ada kerelaan untuk diajar, dipimpin, dibentuk oleh Roh Kudus, Pribadi yang mengerjakan dan memelihara iman kita. Pendeknya, mengalami hubungan yang lebih intim dengan Allah Tritunggal ketika belajar teologi, sama bernilainya dengan menguasai disiplin ilmu teologi.
Menjadi mahasiswa di Calvin Theological Seminary sejatinya bukanlah titik awal perjalanan saya sebagai pembelajar teologi. Sebelumnya, saya pernah studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara-Malang, dan di Trinity Theological College-Singapore. Namun tulisan Muller di atas membuat saya merefleksikan kembali apa yang saya jalani saat ini: apa yang harus saya lakukan dalam perjalanan kali ini, dan apa yang menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini. Saya harus memberikan pengabdian yang utuh di dalam belajar, dan saya rindu menguasai sejumlah ilmu yang kiranya menolong saya untuk mengalami Tuhan. Saya tahu tentu tidak akan mudah, dan Muller sudah mengingatkan kita, "it's never been an easy task." Namun saya yakin itulah yang harus dilakukan dan dirindukan oleh semua anak Tuhan yang dipanggil untuk belajar teologi, khususnya mereka yang melayani secara purnawaktu. Dan, tidak ada langkah awal yang lebih baik selain menjadikan doa John Calvin yang juga menjadi logo Calvin Seminary: "Cor meum tibi offero Domine, prompte et sincere," yang artinya, "Hatiku kupersembahkan kepada-Mu
Tuhan, dengan tepat (tanpa ditunda) dan tulus."
Pertama, Muller mencatat bahwa "studi teologi menuntut pengabdian yang utuh dari pihak si pembelajar." Institusi pendidikan teologi dan segala perangkatnya--dosen, perpustakaan, komunitas--tentu memegang peranan yang tidak kecil. Namun "pengabdian yang utuh" si pembelajar, hemat saya, jauh lebih berperan besar. Bagi saya, itu berarti: (a) ada kesedian untuk diajar; (b) ada keseriusan dalam menimba ilmu sebanyak mungkin, dan; (c) ada komitmen untuk terus-menerus belajar seumur hidup. Tentu saja "pengabdian yang utuh" ini melampaui tembok institusi pendidikan, yang artinya tidak pernah berhenti; terus-menerus.
Kedua, Muller juga menemukan bahwa studi teologi tidaklah pernah semata-mata hanya urusan otak. Pembelajar teologi tidak hanya harus membuka dirinya untuk diisi berbagai pengetahuan, namun yang tidak kalah penting, adalah adanya "keterbukaan terhadap perkembangan dan formasi spiritual yang sifatnya dari dalam." Sederhananya, studi teologi juga mencakup urusan batin kita. Bagi saya, itu berarti: (a) ada kerinduan untuk mengalami kasih Allah Bapa, Pribadi yang menciptakan kita; (b) ada kemauan untuk serupa dengan Kristus, Pribadi yang kita sembah dan teladani; (c) ada kerelaan untuk diajar, dipimpin, dibentuk oleh Roh Kudus, Pribadi yang mengerjakan dan memelihara iman kita. Pendeknya, mengalami hubungan yang lebih intim dengan Allah Tritunggal ketika belajar teologi, sama bernilainya dengan menguasai disiplin ilmu teologi.
Menjadi mahasiswa di Calvin Theological Seminary sejatinya bukanlah titik awal perjalanan saya sebagai pembelajar teologi. Sebelumnya, saya pernah studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara-Malang, dan di Trinity Theological College-Singapore. Namun tulisan Muller di atas membuat saya merefleksikan kembali apa yang saya jalani saat ini: apa yang harus saya lakukan dalam perjalanan kali ini, dan apa yang menjadi tujuan akhir perjalanan kali ini. Saya harus memberikan pengabdian yang utuh di dalam belajar, dan saya rindu menguasai sejumlah ilmu yang kiranya menolong saya untuk mengalami Tuhan. Saya tahu tentu tidak akan mudah, dan Muller sudah mengingatkan kita, "it's never been an easy task." Namun saya yakin itulah yang harus dilakukan dan dirindukan oleh semua anak Tuhan yang dipanggil untuk belajar teologi, khususnya mereka yang melayani secara purnawaktu. Dan, tidak ada langkah awal yang lebih baik selain menjadikan doa John Calvin yang juga menjadi logo Calvin Seminary: "Cor meum tibi offero Domine, prompte et sincere," yang artinya, "Hatiku kupersembahkan kepada-Mu
Tuhan, dengan tepat (tanpa ditunda) dan tulus."
Comments
Post a Comment