Skip to main content

Jonathan Edwards

Sinners in the Hands of an Angry God, mungkin adalah salah satu khotbah yang paling fenomenal di dalam sejarah gereja Kristen, khususnya di Amerika.  Khotbah yang disampaikan kepada jemaat di Enfield, Connecticut, pada tanggal 8 Juli 1741 ini terambil dari teks Ul. 32:35.  Mungkin kita membayangkan khotbah tersebut disampaikan dengan nada yang setengah berteriak, mata melotot, dan tangan yang menunjuk-nunjuk ke arah jemaat. Namun sebenarnya menurut Wiersbe, hari itu Edwards berkhotbah sebagaimana biasanya: tenang, cenderung membaca naskah, dan hampir tidak menatap jemaat.  Saya yakin sebagian besar orang Kristen di zaman sekarang tidak tertarik dengan gaya khotbah Edwards. Tapi hari itu sebuah kebenaran yang kerap dilupakan oleh banyak orang dinyatakan oleh Tuhan: Roh Kudus bisa bekerja dengan luar biasa dengan cara-cara yang nampaknya biasa di mata manusia.

Jonathan Edwards dilahirkan di sebuah keluarga pendeta pada tanggal 5 Oktober 1703 di East Windsor, Connecticut.  Ayahnya adalah Pdt. Timothy Edwards, dan kakeknya dari pihak ibunya adalah Pdt. Solomon Stoddard, seorang gembala di Northhampton, Massachusetts, yang sangat dihormati.  Sebagai satu-satunya anak laki-laki dengan 10 saudara perempuan, Jonathan bersekolah di rumah.  Sejak kecil dia telah mempelajari bahasa Latin, dan di kemudian hari ia juga belajar bahasa Yunani dan Ibrani.  Di usia 13 tahun, Edwards masuk ke Yale College dan menjalani empat tahun masa undergraduate study, yang kemudian ditambah dengan dua tahun lagi belajar teologi.

Pada tanggal 15 Februari 1527, Jonathan Edwards ditahbiskan sebagai pendeta dan menjadi asisten kakeknya.  Kemudian di tanggal 20 Juli di tahun yang sama, ia menikahi Sarah Pierrepoint yang kemudian melahirkan baginya sebelas anak.  Ada kemiripan antara Edwards dengan Matthew Henry (lihat artikel sebelumnya) dalam urusan belajar dan keluarga. Wiersbe mencatat,
Menarik untuk diperhatikan, Jonathan Edwards biasa menghabiskan paling tidak satu jam setiap malam bersama dengan anak-anaknya sebelum mereka tidur.  Seringkali ia belajar selama 13 jam sehari, namun ia tetap menyediakan waktu untuk keluarganya.  Dia dan istrinya hidup bahagia bersama; kehidupan pernikahan dan rumah tangga mereka adalah kesaksian akan kebaikan dan anugerah Tuhan.
Di bulan Februari 1729, Solomon Stoddard meninggal, dan Edwards didaulat menjadi gembala di gerejanya.  Pada masa itu, Kekristenan di Amerika sangat membutuhkan kebangunan rohani.  Sebagai gembala yang baru, Edwards berpegang pada apa yang diyakininya sebagai kebenaran firman Tuhan meski harus bertentangan dengan pandangan jemaat atau kebanyakan orang di zamannya.  Di tengah-tengah dua ekstrim, yaitu kelesuan spiritual dan antusiasme religius yang berlebihan, Jonathan Edwards berdiri sebagai alat Tuhan untuk menyampaikan kebenaran.  Inilah konteks yang di kemudian hari melahirkan sebuah mahakarya, A Treatise Concerning Religious Affections (1746), sebuah tulisan yang disebut oleh Stephen Nicholls sebagai "tulisan yang melampaui zamannya." Edwards pernah menjabat sebagai pimpinan Princeton College, sebelum ia meninggal karena terserang sejenis cacar yang mewabah di daerahnya, di tanggal 22 Maret 1758.

Apa yang bisa kita pelajari dari Jonathan Edwards, selain hal-hal yang sudah diulas di atas? Saya rasa saya tidak bisa memberikan kesimpulan yang lebih baik, selain yang dituliskan oleh Wiersbe,
Dia mungkin adalah pemikir terbesar yang pernah dilahirkan oleh Amerika, namun dia memiliki hati seperti seorang anak kecil.  Dia adalah teolog besar, namun buku-buku dan khotbah-khotbahnya mampu menyentuh kehidupan dan masuk ke dalam hati.  Dia adalah kombinasi langka antara seorang sarjana Alkitab dengan seorang revivalis.  Dia memiliki kerinduan yang besar untuk melihat orang lain mengenal Tuhan secara pribadi, namun dia menolak untuk mengompromikan teologinya demi mendapatkan hasil.  Dia juga adalah seseorang yang memperhatikan misi.
Ada dua hal yang saya doakan setelah belajar dari kehidupan Jonathan Edwards. Pertama, saya memohon kepada Tuhan supaya Dia membangkitkan lebih banyak lagi 'Jonathan Edwards' di masa kini.  Di zaman ini, gereja membutuhkan hamba-hamba Tuhan yang mencintai Tuhan dan pekerjaan Tuhan, serius belajar firman dan mampu mengajar firman, serta rindu melihat kebangunan rohani terjadi di dalam gereja.  Kedua, saya berdoa, jika Tuhan berbelaskasihan, kiranya Dia berkenan memampukan saya untuk menjadi salah seorang dari apa yang saya doakan di atas.

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res