Skip to main content

Matthew Henry

Sebagaimana catatan yang saya posting di FB beberapa hari lalu, dalam beberapa waktu ke depan blog saya akan didominasi oleh beberapa tokoh Kristen di masa lampau.  Saya berhutang banyak pada karya Warren Wiersbe, 10 People Every Christian Should Know: Learning from Spiritual Giants of the Faith (Kindle Edition; Grand Rapids: Baker, 2011). Sama seperti Wiersbe, kita akan mulai dengan seorang tokoh besar bernama Matthew Henry.
Sebagian kecil orang Kristen dan sejumlah besar mahasiswa teologi, dosen teologi, dan pendeta, pasti pernah membaca tafsiran Alkitab karya Matthew Henry. Tafsiran Henry begitu terkenal sampai-sampai George Whitefield, pengkhotbah terkenal di tahun 1700an, selalu membawa buku ini kemana pun dia pergi.  Bahkan Charles Spurgeon, pengkhotbah ternama di tahun 1800an pernah merekomendasikan agar setiap pemberita Injil membacanya secara menyeluruh paling tidak sekali seumur hidup.
Matthew Henry lahir di Broad Oaks, Shropshire, Inggris pada tanggal 18 Oktober 1662.  Papanya adalah seorang pendeta bernama Philip Henry, dan ibunya bernama Catherine Matthews.  Meskipun Matthew Henry kecil lemah secara fisik, kecerdasan dan karakternya begitu kuat dan sehat.  Di umur 3 tahun dia sudah membaca Alkitab; tentu saja bukan sejenis Baby Bible atau aplikasi Alkitab anak-anak di iPad, tetapi Alkitab orang dewasa dalam bentuk buku.  Pada waktu berusia 9 tahun, ia telah menguasai bahasa Latin dan Yunani.  Sejak kecil dia suka mendengarkan khotbah papanya.  Tuhan memakai salah satu khotbah papanya untuk kemudian melahirbarukan Henry, yaitu tatkala ia berusia 10 tahun.  Tidak jarang setelah mendengar khotbah papanya, dia bergegas ke kamarnya dan berdoa agar Tuhan memeteraikan firman yang telah didengarnya beserta dengan berkat rohani yang ia terima.
Tahun 1687 adalah tahun yang dipenuhi berbagai peristiwa penting dalam kehidupan Henry.  Bulan Mei dia ditahbiskan sebagai pendeta, bulan Juni mulai menggembalakan sebuah jemaat untuk 25 tahun berikutnya, dan bulan Agustus dia menikah.  Namun sayangnya, istri Henry meninggal 2 tahun berikutnya, pada waktu melahirkan putri mereka yang pertama.  Henry kemudian menikah lagi di tahun berikutnya dan memiliki 8 anak perempuan—3 di antaranya meninggal sewaktu bayi, dan 1 anak laki-laki.
Jika kita telah dibuat kagum oleh kejeniusan Matthew Henry di masa kecilnya, kita akan lebih takjub lagi dengan kedisiplinan dan keseriusannya dalam belajar firman Tuhan.  Wiersbe mencatat,
Dia hampir selalu sudah ada di ruang belajarnya sebelum jam 5 pagi, merenungkan dan mengeksposisi firman.  Dia menyempatkan diri untuk makan pagi dengan keluarganya, dan selalu memimpin mereka dalam penyembahan, membaca dan menjelaskan beberapa bagian dari Perjanjian Lama.  Setelah itu, dia akan kembali ke ruang belajar hingga sore hari sebelum tiba waktunya untuk mengunjungi jemaatnya.  Setelah makan malam, ia sekali lagi mengajak keluarganya untuk menyembah Tuhan dan belajar dari Perjanjian Baru. . . .  Tidak jarang, dia akan menghabiskan beberapa jam lagi untuk belajar sebelum tidur malam.
Matthew Henry meninggal pada tanggal 22 Juni 1714, yaitu sekitar 10 tahun sejak ia mulai menulis tafsirannya.  Tafsiran Henry telah memberi pengaruh kepada John Wesley, George Whitefield, Charles Spurgeon, dan banyak tokoh-tokoh lainnya.
Ada tiga pelajaran penting yang saya petik tatkala saya menoleh “ke belakang,” yaitu ke dalam kehidupan Matthew Henry.  Pertama, kecintaannya kepada Tuhan dan firman. Dia bukan hanya mendengar khotbah, tetapi sungguh-sungguh memohon Tuhan memeteraikan kebenaran firman ke dalam hatinya.  Henry, meskipun jenius, dia tetap menjaga agar hidupnya dekat dengan Tuhan dan dekat dengan firman.  Hari ini orang Kristen seperti Henry akan semakin langka.  Namun saya rindu meneladani Henry: dekat Tuhan dan dekat firman. 
Kedua, keseriusannya dalam belajar firman Tuhan.  Dengan kepandaiannya, saya yakin dia bisa “lebih santai.”  Tapi sebaliknya, dia mati-matian belajar firman Tuhan siang dan malam, supaya dia bisa menjadi pemberita firman yang efektif.  Bandingkan dengan rohaniwan di masa kini yang sibuk dengan urusan administrasi, dan mengurusi hal-hal yang tidak esensial.  Henry adalah tipikal hamba Tuhan yang langka di zaman ini.  Tapi saya rindu meneladani Henry: pemberita firman yang serius belajar firman.

Ketiga, keteladannya sebagai pemimpin rohani dalam keluarga.  Dia bukan hanya menyediakan waktu untuk makan dan bersekutu dengan keluarga, tetapi melayani keluarganya.  Saya membayangkan anak-anak Henry pasti menghafal beberapa lagu himne, cerita-cerita Alkitab, dan bisa berdoa sendiri.  Sungguh tipe kepala keluarga yang langka di era ini.  Dan sekali lagi, saya rindu meneladani Henry: membawa keluarga dekat Tuhan.

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res