Skip to main content

I Praise God for the Past Ten Years

Sabtu lalu kami sekeluarga melanjutkan perjalanan cuti ke kota kelahiran saya, Balikpapan.  Bandara Internasional Sepinggan betul-betul berbenah total.  Diam-diam rasa bangga menyelimuti hati, karena menurut tebakan saya, nantinya bandara ini akan menjadi salah satu bandara terbaik di Indonesia.  Senang rasanya bisa melihat kota yang dijuluki kota terbersih ini mengalami kemajuan pesat di kurun waktu 10 tahun terakhir. 

Ada tiga berkat semasa liburan di Balikpapan.   Di hari Minggu, kami sekeluarga—saya, istri, anak, mama, dua adik, dan adik ipar—beribadah di GKY Balikpapan.  Tidak seperti biasanya, kali ini seusai ibadah saya menolak ajakan beberapa jemaat untuk makan siang bersama.  Saya sudah janji dengan keluarga untuk makan bersama, karena malamnya adik ipar saya harus kembali ke kota lain untuk bekerja di hari Senin.  Setelah makan, pelayan restoran membawa sebuah cheese cake dengan beberapa lilin menyala di atasnya.  “Happy Birthday Lilian, Lucky, Selena,” begitulah tulisan di atasnya.  Kue ini semakin menarik karena dihiasi dengan beragam foto saya, istri, dan anak.  Sebagian teman pasti tahu, hari Minggu kemarin tanggal 9 November.  Ya, ini adalah belated birthday thanksgiving untuk anak kami, a bit early birthday thanksgiving untuk saya, dan quite early birthday thanksgiving untuk istri.  Namun itu tidak penting.  Yang terpenting, ini adalah moment pertama kali lagi saya merayakan ulang tahun di kota kelahiran saya, bersama mama saya dan adik-adik saya (minus adik bungsu), setelah 10 tahun lalu saya meninggalkan Balikpapan.  4 kali tahun ulang tahun saya dirayakan di Malang, 4 kali di Jakarta, dan 2 kali di Singapore.  Tempat hidup saya boleh berpindah, konteks kehidupan saya bisa berganti, namun kasih setia Tuhan tidak pernah berubah.  Ini berkat yang pertama.

Berbeda dari biasanya, kali ini kami memilih untuk menginap di rumah.  Kebetulan karena adik saya dan istrinya ada di luar kota, dan adik bungsu saya di Malang, maka kami bisa menempati satu dari dua kamar yang ada.  Rumah yang nyaris rubuh ini adalah tempat saya dibesarkan.  Dibandingkan tempat tinggal saya di Singapore saat ini, tentu rumah ini sangat jauh dari kesan layak tinggal.  Namun saya sengaja menolak tawaran orang lain untuk menginap di tempat yang lebih nyaman, karena ingin anak saya mengerti bahwa papanya dibesarkan di rumah yang sangat sederhana.  Saya rindu agar kelak dia tahu bahwa papanya dan keluarga besarnya dipelihara oleh Tuhan bukan dengan harta yang banyak dan rumah yang mewah, namun semata-mata oleh kasih setia Tuhan.  Saya ingin dia tahu bahwa kehadiran Tuhan tidak identik dengan kenyamanan.  Kehadiran Tuhan pun bisa dirasakan meski kondisi tidak ideal.  Ini berkat kedua.

Kali ini, kami pun menyempatkan waktu untuk mampir ke kuburan papa saya.  Anak saya terus bertanya kita mau kemana, dan cukup sulit menjelaskan kepada dia tentang figur papa saya, karena secara fisik memang dia tidak pernah bertemu dengan kakeknya.  Butuh waktu untuk berhasil menemukan posisi kuburannya, karena tingginya rerumputan dan banyaknya kuburan baru bertambah.  Saya tidak tahu bagaimana perasaan mama saya waktu itu.  Perasaan saya sendiri campur-aduk.  Ingin rasanya melihat papa saya masih hidup, menemani mama saya, menggendong cucu, dll.  Tapi di sisi lain, saya pun turut senang karena dia sudah melepaskan semua jerih payah di dunia, dan berbahagia bersama pemilik hidupnya.  Saya kembali menyimpulkan bahwa waktu dan rencana Tuhan adalah yang terbaik, meski tidak selalu bisa dipahami.  Maka walau berada di kuburan, berhadapan dengan fakta kematian, kami tidak kehilangan rasa syukur kepada Tuhan yang tidak pernah salah mengatur kehidupan ini.  Ini berkat ketiga.


Kemarin siang kami terbang meninggalkan Balikpapan untuk menuju Jakarta, dan siang ini ke Singapore.  Maka usailah masa cuti terpanjang saya selama dua tahun terakhir ini.  Saya bersyukur karena bisa kembali menelusuri jalan-jalan yang pernah saya lalui selama 10 tahun terakhir.  Rupanya saya tidak pernah sendirian berjalan.  Ada Tuhan mengiring langkah kaki saya, bahkan menggendong saya tatkala kaki saya sudah tidak kuat melangkah.  Bagaimana perjalanan hidup saya di tahun-tahun mendatang, saya sungguh tidak tahu.  Namun 10 tahun terakhir lebih dari cukup untuk membuktikan kesetiaan Tuhan kepada saya.  Terpujilah Tuhan!

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res