Skip to main content

Personal Retreat: Day 2

Peniel Chapel, adalah tempat yang sangat berkesan bagi saya.  Khotbah saya yang terakhir sebagai mahasiswa tingkat akhir adalah di chapel ini.  Sampai hari ini saya masih ingat apa yang saya khotbahkan, yaitu terambil dari Roma 12:2.  Waktu itu (2007), naskah khotbah saya ditulis dengan tangan karena SAAT baru saja menempati kampus yang baru, sehingga laboratorium komputer belum bisa digunakan.  Chapel ini juga menjadi saksi bahwa saya pernah ada di situ sendirian, menangis dalam doa kepada Tuhan.  Waktu itu seingat saya, adalah salah satu masa terberat saya selama menjalani studi di seminari.  Ruang ini juga sangat bersejarah karena di dalamnya saya diwisuda di tahun 2009. Bahagianya bukan main karena studi yang telah dijalani selama 4 tahun + 1 tahun praktik akhirnya membuahkan hasil.

Hari ini, sebagai bagian dari retreat pribadi, saya pun melangkah menuju Peniel Chapel untuk mengikuti kebaktian pagi (9.40 AM).  Unik sekali karena sebenarnya kebaktian telah berpindah di auditorium yang baru.  Namun karena ada yang meminjam auditorium Andrew Gih, maka kebaktian hari ini dipindah lagi ke Peniel Chapel.  Kebetulankah?  Rasanya tidak juga!  Sudah menjadi tradisi bahwa setiap Rabu, khotbah akan disampaikan oleh dosen.  Hari ini giliran Rev. Richard Koenieczny yang berkhotbah.  Saya tidak terlalu mengenal beliau dan pastinya beliau tidak kenal saya; waktu itu beliau hanya dosen tamu dari US.  Beliau pernah mengajar mata kuliah Latar Belakang Perjanjian Baru, dan itu adalah kuliah pertama saya di SAAT.  Saya masih ingat, dalam waktu seminggu kuliah intensif, ada 3 paper kecil, 1000 halaman bacaan, dan ujian akhir.  Saya sudah hampir menyerah, padahal itu baru saja awal dari perjalanan studi saya di seminari.

Dengan logat Amerika-nya, beliau berkhotbah dalam bahasa Indonesia dari Mikha 6:1-8.  Sebagian besar waktu khotbahnya dipakai untuk menjelaskan konteks kitab Mikha; sesuatu yang lumrah di konteks sekolah teologi.  Intinya, Tuhan menegur bangsa Israel pada waktu itu karena mereka bukan hanya ‘menyeleweng’ dengan mengikuti peribadatan orang kafir (paganisme), tetapi mereka menggunakan kacamata paganistik untuk menilai Tuhan.  Mereka menganggap TUHAN sama seperti ilah-ilah lain, yang bisa dimanipulasi dengan persembahan kurban.  Di sini, nama Mikha yang berarti “Siapakah yang seperti Yahweh” menjadi relevan.  Bukan hanya memunculkan efek retoris, namun arti nama tersebut memberikan makna teologis bagi kitab ini.  Sudah seharusnya bangsa Israel tahu bahwa tidak ada yang seperti Yahweh.  Dia yang membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, dan Dia yang menuntun umat-Nya sampai masuk ke tanah perjanjian. Namun entah mengapa dan bagaimana, toh bangsa Israel tetap saja tergoda untuk memikirkan, mencari dan mengusahakan ilah lain.  Ironis bukan?

Sepanjang khotbah saya terus menaikkan doa singkat: “Tuhan, apa yang ingin engkau sampaikan kepada hamba-Mu?”  Entah bagaimana, khotbah saya di hari minggu terngiang lagi.  “Tuhan adalah segalanya dalam hidup ini.  Maka fokuslah pada-Nya dan teruslah beribadah hanya kepada-Nya.”  Betul, jika tidak ada yang seperti Yahweh maka Dia yang harus menjadi satu-satunya dan segala-galanya dalam hidup ini.  Jika tidak ada yang seperti Yahweh, maka fokus utama dan pusat ibadah saya haruslah Dia.  Hari ini, Tuhan memakai Peniel Chapel untuk berbicara kepada saya sekali lagi.  Semoga Tuhan menolong hamba-Nya untuk terus ingat bahwa tidak ada yang seperti Yahweh.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res