Skip to main content

Personal Retreat: Day 1

Hari ini adalah hari yang telah saya tunggu-tunggu selama beberapa minggu terakhir.  Bukan karena sejak kemarin hingga beberapa hari ke depan saya sedang masa cuti, namun karena cuti kali ini diisi dengan cara yang berbeda.  Selain mengunjungi orangtua istri, saya berkesempatan untuk kembali ke almamater saya di SAAT Malang.  Spesial, karena kali ini saya memutuskan untuk menginap selama dua malam di kampus.  Tujuannya sederhana: kembali ke masuk ke dalam ritme kehidupan seminari yang dulu mungkin tidak terlalu saya sukai tetapi sekarang saya rindukan (meditasi pagi, chapel, dll), masuk ke perpustakaan untuk studi mandiri, dan bersekutu dengan para mahasiswa dan dosen.  Doa saya adalah semoga Tuhan berkenan berbicara sesuatu kepada saya secara pribadi selama dua malam ini.  Saya bersyukur karena SAAT sudah seperti rumah sendiri, yang selalu terbuka untuk menerima para alumni.
Sore tadi saya sudah check-in di SAAT.  Kebetulan rumah mertua dan kampus cuma “sepelempar batu jauhnya.”  Setelah bercakap-cakap dengan beberapa mahasiswa dan dosen, lalu makan malam di rumah salah seorang dosen, malam ini saya masuk ke tempat favorit saya: perpustakaan.  Saya masih ingat jelas bahwa buku-buku bertemakan worship ada di lantai paling atas.  Betul, belum berubah.  Dan syukur, koleksinya bertambah.  Ekstra senang juga karena saya menemukan buku-buku yang ditulis oleh dua orang yang pernah mengajar saya, yaitu Prof. Simon Chan (TTC Singapore) dan Prof. Frank C. Senn (dosen tamu di TTC). 
Salah satu buku yang menarik perhatian saya adalah tulisan dari Allen P. Ross, Recalling the Hope of Glory: Biblical Worship from the Garden to the New Eden (Grand Rapids: Kregel, 2006).  Di dalam pendahuluan bukunya, penulis menjabarkan tentang siapa pribadi Tuhan yang kita percayai.  Tuhan itu Pencipta yang berdaulat, Allah semesta alam.  Karena kebesaran dan anugerah-Nya, Dia menciptakan manusia dari debu tanah, dan menjadikannya seturut dengan gambar dan rupa-Nya.  Dia berinkarnasi ke dalam dunia ini, dan suatu saat Dia akan datang kembali dengan kemuliaan-Nya untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.  Dia pulalah yang akan menjadikan segalanya baru, yaitu langit dan bumi yang baru.  Singkatnya, tidak ada yang seperti dan sebanding dengan Dia.  Dan satu hal yang membuat semua penjelasan ini relevan, menurut Ross, adalah kita mengaku bahwa kita mengenal Dia.  Tentu saja, Ross melanjutkan, kita mengenal Dia karena Dia yang menyatakan dirinya kepada kita.
Setelah menuliskan segala ke-maha-an Allah dan relevansinya dengan kita, Ross membombardir pembacanya dengan kombinasi pertanyaan-pernyataan yang begitu berbicara kepada saya.  Ini yang ditulis Ross,
How then can we talk casually of this Lord?  How can we merely slot him into our fully scheduled lives?  How can we think there might be more important things for us to do in life than to worship him?  If we even begin to comprehend his glorious nature, we cannot.  We will be caught away from our worldly experience and transported in our spirits to realms of glory.  We will be overwhelmed by the thought of being in his presence, tremble at the thought of hearing what he has to say to us, and be amazed at the thought that we can speak to him and he will listen!  How can we not desire to transcend the ordinary routine by entering his courts to praise and glorify him above the profane things we so eagerly value?  Truly, if our worship, if our spiritual life, is going to rise above this earthly existence where our minds are fixed on mundane concerns, then we are going to have to begin to focus our hearts and our minds on the holiness and the glory and the beauty of the one we say we know and love (p, 37).
How then can we . . .atau “Bagaimana bisa . . .”  Itulah kalimat pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya.  Bagaimana bisa saya tidak mengutamakan Dia dalam hidup saya jika Dia adalah sumber segala yang hidup di seantero semesta ini?  Ketika itu terjadi, itu bukan saja berarti saya berdosa atau memberontak kepada Allah, namun yang lebih mengerikan lagi adalah saya gagal menjadi manusia.

Hari minggu kemarin, saya berkhotbah dari Imamat 23, yaitu tentang apa yang Tuhan ingin agar bangsa Israel pahami turun-temurun lewat merayakan hari-hari raya tahunan.  Ada dua pelajaran yang saya bagikan kepada jemaat.  Pertama, hari-hari raya tersebut mengingatkan umat bahwa Tuhan adalah segalanya dalam hidup ini.  Kedua, hari-hari raya tersebut menolong umat untuk memberikan respons yang seharusnya kepada Tuhan dalam keseharian, yaitu selalu terfokus dan beribadah pada Tuhan.  Saya tidak menyangka bahwa inilah pelajaran pertama yang Tuhan sampaikan kepada saya di retreat pribadi di kampus SAAT.  Apa yang saya baca dari Ross seolah menegaskan khotbah saya sendiri di hari minggu.  “Tuhan adalah segalanya dalam hidup ini, maka fokuslah pada Dia dan teruslah beribadah kepada Dia.”  Apa pelajaran di hari kedua?  Semoga Tuhan berkenan menyatakan isi hatinya.

Comments

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res