Skip to main content

Mengalahkan Dunia atau Mengalah Pada Dunia?

Malam ini saya membaca 1 Yohanes 5.  Di antara 21 ayat, saya tertarik dengan ayat 4-5, khususnya versi terjemahan The Message dari Eugene Peterson. Begini bunyinya: "Every God-begotten person conquers the world’s ways. The conquering power that brings the world to its knees is our faith. The person who wins out over the world’s ways is simply the one who believes Jesus is the Son of God."

Ayat tersebut menyatakan satu kebenaran yang penting bagi anak-anak Tuhan: iman kitalah, yaitu kepercayaan kita kepada Tuhan Yesus, yang membuat kita mengalahkan dunia. Dengan kata lain, jika kita sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan Yesus, dan tentu saja hidup dengan iman tersebut, maka sebenarnya kita telah mengalahkan dunia dengan segala kekuatan dan tawarannya yang menyesatkan. Iman yang sejati, yaitu menyerahkan hidup secara total kepada Tuhan dan mempercayai Tuhan dalam kondisi apapun, cukup untuk mengalahkan dunia.

Namun sebagaimana judul artikel ini, seringkali kita mungkin bukan mengalahkan dunia tetapi mengalah pada dunia. Acapkali iman kita "ciut" karena mungkin kita ragu mempercayakan hidup kita seutuhnya pada Tuhan. "Ah, bagaimana jika hasilnya ga enak," pikir kita. Tidak jarang iman kita "tawar" karena mungkin kita merasa Tuhan tidak mengabulkan doa kita. "Sudah lelah aku berdoa, namun tak kunjung ada jawaban," keluh kita. Banyak kali iman kita "pudar" karena mungkin kita takut dianggap aneh, atau takut dijauhi oleh teman-teman, sebab prinsip hidup kita berbeda dengan mereka. "Habis gimana, entar dianggap sok suci, ga gaul, kuper," kita beralasan.

Pada waktu kita ragu menyerahkan hidup kita secara utuh kepada Tuhan, itulah tanda kita mengalah pada dunia. Kita lebih mempercayai dunia ini daripada Tuhan. Pada waktu kita meragukan kebaikan Tuhan dalam kondisi sulit, itulah ciri kita mengalah pada dunia. Kita memakai kacamata dunia untuk mendefinisikan kebaikan Tuhan. Pada waktu kita takut dijauhi oleh karena mempertahankan prinsip hidup Kristen, itulah sikap mengalah pada dunia. Kita menukar Tuhan Yesus demi bershabat dengan dunia.

Saya sadar sepenuhnya, saya dan setiap kita berkali-kali gagal mengalahkan dunia. Setiap hari kita diperhadapkan dengan banyak pilihan, dan tidak jarang kita mengalah pada dunia. Maka malam ini, masih di dalam rangka minggu Advent ketiga, saya ingin kembali bertobat di hadapan Tuhan. Mengakui semua tindakan saya yang mengalah pada dunia, dan berbalik kembali kepada Tuhan, kembali pada iman yang sejati, kembali untuk mengalahkan dunia. "Kyrie Eleison!"

Menjelang minggu Advent ketiga,

Di meja belajar

Comments

  1. Thanks for sharing Ko! =) Just had a similar experience and thankfully this one doesn't end up with me conquered by the world.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, sorry for the late reply. Ini dengan siapa ya? Betul, tiap detik kita terus perlu bersandar pada anugerah Tuhan. Semangat!!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

El-Shaddai di Tengah Rapuhnya Hidup

Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Fakta ini kian disadari dan diakui akhir-akhir ini oleh manusia di seluruh belahan bumi.  Tidak perlu gelombang laut sedahsyat Tsunami, atau gempa bumi sebesar 9 skala Richter.  Hanya sebuah virus yang tidak kasat mata, tapi cukup digdaya untuk melumpuhkan hampir seluruh segi kehidupan, termasuk nyawa kita.  Saking rapuhnya hidup ini, sebuah virus pun sudah terlalu kuat untuk meluluhlantakkannya.  Semua kita rapuh, tidak peduli latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial kita. Life is fragile!   Hidup ini rapuh!  Bagaimana kita bisa menjalani fakta ini?  Bagaimana kita bisa merangkul realitas ini, tanpa membiarkannya menggerogoti harapan hidup kita?  Tidak ada jalan lain: Kembali kepada Tuhan!  Kembali pada firman-Nya! Salah satu cara efektif yang bisa menolong kita untuk kembali kepada Tuhan dan firman-Nya adalah dengan memuji Tuhan.  Puji-pujian yang baik dapat mengarahkan, sekaligus membenamkan kita dalam kebenaran-kebenaran tentang

Habitus Memuji Tuhan

Kita semua tahu bahwa mengulang-ulang ( repeating ) adalah cara klasik namun efektif untuk membentuk sebuah kebiasaan ( habit ) yang baru. Jika kita telusuri, maka kehidupan kita sesungguhnya dibentuk oleh beragam kebiasaan. Lucky adalah seseorang yang menyukai masakan chinese , oleh karena sejak kecil hingga dewasa dia berulangkali (baca: lebih sering) mengonsumsi chinese food dibanding jenis lainnya. Tentu yang paling "berjasa" dalam hal ini adalah mama saya, dengan menu masakannya yang selalu membuat saya homesick :) Sebagai orangtua, saya dan istri pun mengaplikasikan "cara klasik" tersebut untuk mendidik anak kami. Kami mengajarkan dia menyapa orang lain, makan 3x sehari, dan yang paling susah hingga hari ini, mengajarkan dia tidur tepat waktu di malam hari. Maklum, ada unsur genetis di sini :) Yang jelas, apa yang kami lakukan sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua. Jadi, tidaklah berlebihan jika ada orang pernah berkata: "Kalau mau tah

Lilian Natalie Susanto

“Anggota keluarga ‘Susanto’ yang mempersembahkan hidupnya dengan kemurnian,” itulah arti nama anak kami.  Lilian diambil dari bunga lily yang melambangkan “ purity ,” Natalie berasal dari kata Ibrani “ nathan ” yang berarti “ to give ,” sementara Susanto adalah nama belakang almarhum papa saya.  Ada dua alasan utama mengapa kami memberikan anak kami nama tersebut.   Alasan Praktikal: Nama pertama haruslah diawali dengan huruf “L” karena nama papanya dimulai dengan huruf “L.”  Setelah beberapa kali upaya persuasif, menyerahlah istri saya :) Nama pertama harus simple untuk ditulis karena orang Indonesia sering salah ketik/tulis nama orang lain, dan pronounciation -nya harus sama, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (bandingkan dengan nama saya yang pelafalannya berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; jadi bikin bingung) Nama terdiri dari tiga kata karena istri saya mau anak kami punya family name ; memang penting sih untuk mengurus dokumen-dokumen res